XX-1.
Berita-berita kuno tentang Mataram, sejarah dan
legenda
Di daerah aliran
Sungai Opak dan Progo, yang bermuara di Laut Selatan, sebelum tahun 1000 M.
telah berkembang peradaban penting yang banyak mendapat pengaruh dari India .
Puing-puing candi-candi Syiwa dan Budha, yang banyak terdapat di wilayah Kedu
dan Mataram, merupakan peninggalan dari zaman pemerintahan dinasti atau
dinasti-dinasti raja di Jawa Tengah bagian selatan yang sejarahnya dengan susah
payah dapat kita rekonstruksikan dari prasasti-prasasti
mereka.
Pada abad ke-14,
ketika raja-raja dari keluarga raja Majapahit memerintah di Jawa Timur, Mataram
merupakan salah satu "tanah mahkota" yang kurang penting artinya. Tidak ada
sedikit pun yang menunjukkan kenangan akan para raja Mataram Lama yang hidup
beberapa abad sebelumnya. Kelihatannya pada catatan para rohaniwan Budha di
Keraton Majapahit terdapat nama-nama beberapa tempat suci di Jawa Tengah bagian
selatan, yang didirikan pada zaman kemakmuran Kerajaan Mataram Lama.[1] Tidak dapat
diketahui apakah pada abad ke-14 kelompok-kelompok religius Budha atau Syiwa,
yang tentu berkaitan dengan tempat-tempat suci kuno di wilayah Kedu dan Mataram,
masih hidup dengan subur. Dalam hal kehidupan materiilnya, masyarakat religius
bergantung pada hasil tanah yang dikerjakan oleh buruh-buruh mereka. Dapat
diperkirakan bahwa makin berkurangnya tenaga kerja agraris yang tersedia
(sebagai akibat pelbagai, bencana alam) di daerah-daerah sekitarnya
mengakibatkan berakhirnya kemakmuran materiil kelompok-kelompok religius
itu.
Dalam buku-buku
cerita Jawa yang mungkin ditulis pada abad ke-17 atau ke-18, terdapat
legenda-legenda yang serba simpang siur tentang istana tua di Prambanan, dan
tentang Prabu Baka. Sebagai tokoh-tokoh legenda, para raja Prambanan telah
mengadakan hubungan dengan Kodrat (Gujarat di India), kemudian dengan Sumedang
(di Jawa Barat), dan dengan Blora (Mendang Kamulan, di kawasan Pesisir). Prabu
Baka itu konon berasal dari Bali . Untuk
sementara kiranya'tidak ada gunanya mencoba menguraikan kekusutan dalam
berita-berita ini. Nama Ratu Baka itu oleh cerita tutur setempat masih
dihubungkan dengan peninggalan bangunan-bangunan tidak jauh dari kompleks candi
Prambanan. Orang hanya dapat menentukan bahwa pada abad ke-17 di Jawa Tengah
beredar cerita-cerita rakyat yang samar-samar tentang bertahtanya
dinasti-dinasti kuno di wilayah itu di masa lampau yang telah redup.[2]
XX-2. Daerah
Mataram pada pertengahan abad ke-16, legenda dan
sejarah
Cerita sejarah
Jawa mengenai daerah-daerah Pengging dan Pajang, di sebelah timur Mataram cukup
dapat dipercaya sehingga dapat kita benarkan bahwa di sana pada paruh pertama
abad ke-16 telah memerintah raja-raja Islam yang ternama. Berkenaan dengan
daerah Mataram, tidak ada cerita yang sebanding dengan cerita-cerita di
atas.
Menurut semua
cerita tutur Jawa, baik cerita Jawa Tengah maupun Jawa Barat, raja Pajang,
pengganti Sultan Tranggana dari Demak, pada perempat ketiga abad ke-16 telah
mengutus seorang panglima pasukannya, penguasa di Pamanahan, ke daerah tetangga,
Mataram, dengan tujuan memasukkannya ke dalam daerah Islam dan membangun daerah
Islam di sana.[3] Dalam
cerita-cerita itu tidak diberitakan tentang penguasa-penguasa setempat yang
dikalahkan atau diusir oleh Ki Pamanahan. Yang diberitakan justru kegiatan
membuka hutan.
Dapat diduga
bahwa pada perempat ketiga abad ke-16 daerah inti Mataram sebagian besar masih
belum berpenduduk dan tanahnya belum dikerjakan orang. Raja Pajang mungkin
mempunyai rencana mengadakan permukiman baru di daerah tetangga yang tidak ada
penguasanya dan hampir tidak ada penduduknya itu. Mungkin dahulu dan kemudian
harinya para raja di Jawa telah berkali-kali memperluas tanah dengan cara
demikian itu, dengan maksud menambah pendapatan dari pengumpulan upeti yang
harus diserahkan kepada mereka.[4]
Dalam cerita tutur tidak ada petunjuk bahwa
baik raja Pajang maupun penguasa di Pamanahan mengetahui sesuatu tentang
dinasti-dinasti Mataram Lama yang raja-rajanya lima abad sebelumnya telah memerintah di daerah
yang tanahnya masih harus dibuka lagi itu. Tumbuh-tumbuhan tropis telah menutup
puing-puing istana-istana tua sehingga tidak dapat diketahui
lagi.
Menurut cerita babad di Jawa Tengah, ketika Ki
Pamanahan mengadakan perjalanan dari Pajang ke barat, pada batas lama Kerajaan
Pajang, dekat Taji (yang kelak menjadi "pos pabean"), ia telah bertemu dengan
penguasa setempat di Karang Lo. la menerima rombongan kolonis itu dengan ramah;
diantarkannya mereka ke daerah tempat Sungai Opak dapat diseberangi.[5]
Ingatan
samar-samar akan adanya hak-hak yang lebih tua atas daerah Mataram daripada
hak-hak kolonis Ki Pamanahan mungkin telah diolah menjadi cerita babad tentang
penyadap nira dari Giring (di Pegunungan Sewu, Gunung Kidul). Penyadap nira dari
Giring itu mempunyai sebutir kelapa, yang airnya - bila diminum sekali teguk -
akan membuat si peminum menjadi nenek moyang keluarga raja yang akan memerintah
seluruh Jawa. Ki Gede Giring konon telah alpa meminum air kelapa itu; Ki
Pamanahan secara kebetulan meminumnya, dan ramalan tersebut menjadi
kenyataan.[6]
Cerita mengenai
terlepasnya nasib baik dari tangan Ki Gede Giring itu sendiri tidak begitu
menarik perhatian. Tetapi dari cerita itu dapat diambil kesimpulan bahwa semula
wewenang Ki Gede Giring atas kekuasaan lebih tua daripada wewenang Ki Pamanahan.
Mungkin tokoh legenda penyadap nira dari Gunung Kidul ini dapat dihubungkan
dengan Tunggul Petung, raja Prambanan, "raja para penyadap nira" dalam mitos,
yang termasuk keturunan nenek moyang Kandi Awan. Legenda tentang hubungan
persahabatan antara moyang keluarga raja Mataram, Ki Pamanahan, dan penyadap
nira itu sebagai pemilik hak yang tertua di daerah itu merupakan pertanda
kehadiran para kolonis dari timur itu.[7]
Sebagai cerita
yang termasuk asli di daerah Mataram dan yang - mungkin pada abad ke-17 - telah
dihubungkan dengan munculnya dinasti Mataram, hendaknya dimasukkan juga mitos
Nyai Loro Kidul yang konon menjadi istri raja. Di berbagai tempat di
daerah-daerah sepanjang pantai selatan Jawa, dalam kisah-kisah dan adat
istiadat, kita jumpai sisa-sisa penghormatan keagamaan dari zaman pra-Islam
terhadap kekuasaan seorang dewi yang tinggal di Segara Kidul 'lautan selatan'
yang luas dan tanpa batas. Di sekitar muara sungai-sungai Opak dan Progo di
Segara Kidul di daerah Mataram, kepercayaan itu bertahan lama.[8] Kemungkinan,
raja-raja dari zaman sebelum Islam sudah menghormati dewa-dewa di Segara Kidul
itu dengan upacara-upacara keagamaan.[9] Menurut cerita
babad Jawa zaman baru, dewi laut itu pertama kali bertemu dengan Panembahan
Senapati.[10] Sampai pada
abad ke-20, keturunannya, yaitu raja-raja dart dinasti Mataram yang kemudian
terbagi atas cabang Surakarta dan Yogyakarta, masih mempertahankan kebiasaan
mengadakan kurban (sajen), terutama berupa sandang, di pantai selatan. Upacara
semacam itu terjadi juga di tempat-tempat lain: di Gunung Lawu dan Merapi, untuk
menghormati para dewa gunung, dan di Dlepih, di daerah Wonogiri, untuk
menghormati Bengawan Solo.[11]
Yang tidak atau
hampir sama sekali tidak ada hubungannya dengan keluarga raja Mataram ialah
legenda Syekh Bela-Belu dan Gagang Aking, yang konon bertempat tinggal tidak
terIalu jauh dari muara Sungai Opak.[12] Legenda orang
suci Islam yang aneh ini banyak persamaannya dengan cerita Jawa Kuno yang
terkenal dari zaman sebelum Islam mengenai riwayat Bubuksa dan Gagang Aking.
Cerita ini ada kaitannya dengan paham belah dua, yang mempunyai kedudukan
penting dalam alam pikiran religius Jawa zaman dahulu.[13] Dihubungkannya
lagenda Orang Suci tentang Syekh Bela-Belu dan Gagang Aking dan cerita ajaran
Jawa Kuno ini dengan latar daerah Mataram-Lama, menimbulkan dugaan bahwa tempat
dekat muara Sungai Opak (di daerah udik sungai ini juga terletak Prambanan) itu,
sudah merupakan tempat suci sejak zaman Mataram-Lama sekitar tahun 1000. Di
sana terdapat
bekas-bekas bangunan, namun kelihatan tidak terlalu tua. Meskipun begitu,
dianggap ada juga kemungkinan bahwa penghormatan religius di tempat itu jauh
lebih tua dari abad ke-16, yakni waktu Ki Pamanahan - dengan persetujuan raja
Pajang - datang untuk menguasai daerah Mataram itu.
XX-3. Yang
Dipertuan di Pamanahan, moyang raja-raja dinasti Mataram, lagenda dan
sejarah
Ketika keluarga
raja Mataram pada puncak kejayaannya di abad ke-17 dan ke-18, para pujangga
keraton berlomba-lomba mengetengahkan betapa tinggi kebangsawanan dan betapa tua
asal usul moyang raja. Dalam hal itu mereka mungkin telah berbohong. Konon, Kiai
Ageng Pamanahan adalah cucu penguasa di Sesela (di daerah Grobogan, sebelah
selatan Demak) yang diselubungi cerita-cerita yang serba aneh (ia konon telah
menangkap kilat dengan tangan). Yang disebut sebagai ayah Ki Pamanahan ialah
seorang yang bemama Ki Gede Ngenis, seorang pengikut raja Pajang. la telah
menetap di Lawiyan (atau Laweyan, tidak jauh di sebelah timur istana Pajang). Ia
dimakamkan di sana . Anaknya diberi nama sesuai dengan tempat
tinggalnya, Pamanahan; Manahan itu sekarang menjadi kampung dalam Kota
Surakarta, tidak jauh dari Laweyan. Sebagai prajurit ia telah berjasa dalam
korps Tamtama Raja Pajang. Ki Pamanahan dan putranya, yang kelak menjadi
Panembahan Senapati Mataram, mempunyai andil yang besar dalam mencapai
kemenangan atas Aria Panangsang dari Jipang. Sebagai hadiah atas jasanya itu, ia
dianugerahi daerah Mataram oleh raja Pajang.
Cerita tutur
Jawa masih memberitakan lebih banyak hal secara terinci.[14] Berdasarkan
kisah-kisah dari abad ke-17 yang disampaikan oleh penulis-penulis Jawa Barat
(yang tidak diwajibkan memuji keluarga raja Mataram!), dapat disimpulkan bahwa
Ki Pamanahan dan kerabatnya berasal dari golongan masyarakat sederhana. Cerita
babad tentang besarnya peranan anak Ki Pamanahan yang masih muda itu, yang kelak
akan menjadi Senapati Mataram, dalam kemenangan atas Aria Panangsang, juga
menimbulkan dugaan bahwa para pujangga Keraton Mataram berniat menonjolkan
jasa-jasa nenek moyang raja. Mungkin saja dalam kenyataannya Ki Panjawi lebih
banyak berjasa kepada raja Pajang, sehingga ia diangkat sebagai raja di daerah
penting, Pati, sedangkan Ki Pamanahan pada waktu itu masih harus membuka hutan
lebih dahulu di Mataram.[15]
Ki Gede Ngenis,
ayah Ki Gede Pamanahan, menurut garis lurus berasal dari Ki Gede Sesela. Ini
hanya merupakan cerita yang "direka-reka" oleh para pujangga Mataram. Namun,
kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad ke-17 raja-raja Mataram
sudah menganggap daerah kecil Sesela di Grobogan itu sebagai tanah asal keluarga
raja mereka.[16]
Sesudah
membanding-bandingkan berbagai daftar tahun peristiwa Jawa, wajar jika timbul
anggapan bahwa sesudah berakhirnya perang Pajang melawan Jipang pada tahun 1558
M., Ki Pamanahan mulai bekerja di Mataram. Pada tahun 1577 ia menempati istana
barunya di Kotagede (tidak jauh dari kota
Yogyakarta sekarang). la meninggal pada tahun
1583 atau 1584. Cerita babad atau cerita Jawa lainnya tidak memuat petunjuk
bahwa Ki Pamanahan sudah bertindak sebagai raja Mataram yang merdeka. Selama
hidupnya ia seorang penguasa bawahan raja Pajang yang taat dan patuh.[17]
XX-4. Panembahan
Senapati dari Mataram memerdekakan diri
dari Keraton Pajang
Dalam cerita
tutur Jawa, Ki Pamanahan tidak memakai gelar yang lebih tinggi dari Ki Gede
Mataram. Tetapi anaknya, yang juga menjadi penggantinya, waktu diangkat di
Keraton (Pajang) telah diberi nama dan sekaligus gelar Senapati-ing-Alaga
oleh raja Pajang. Gelar itu selanjutnya merupakan bagian tetap dari nama
raja-raja Mataram.[18]
Menurut cerita
tutur Jawa, Senapati yang masih muda itu pada tahun 1584 - segera setelah ia
mendapat kekuasaan atas Mataram - mulai mengadakan persiapan untuk memerdekakan
tanah warisnya. Yang paling mencolok dari kegiatannya itu ialah pembangunan
tembok sekeliling istananya. Ini dilakukannya atas nasihat dan petunjuk salah
seorang dari para wali Islam, Sunan Kalijaga atau seorang penggantinya sebagai
ulama dari Kadilangu.[19]
Selain itu,
menurut cerita tutur, pada permulaan pemerintahan Senapati, para penguasa
setempat yang wajib upeti di kawasan Kedu dan Bagelen telah terhujuk untuk
membangkang terhadap raja Pajang.[20] Pada waktu itu
pula raja muda tersebut berjumpa pertama kali dengan Nyai Loro Kidul.[21] Dan juga,
sesudah tidur di atas batu datar di Lipura, konon ia menerima petunjuk dari
kahyangan 'tempat para hyang tentang kejayaan bagi keturunannya di masa
datang.[22]
Menurut tutur
Jawa, Senapati Mataram yang masih muda telah mengabaikan kewajibannya terhadap
raja Pajang yang sudah tua itu; ia tidak sowan 'menghadap' raja di keraton untuk
memberikan penghormatan tahunan. la juga menggagalkan pelaksanaan hukuman - yang
harus dilakukan atas perintah raja - terhadap keluarga tumenggung di Mayang.
Tumenggung Mayang itu (tidak jauh di sebelah barat kota Keraton Pajang) adalah
ipar Senapati Mataram. Seharusnya ia dihukum karena pelanggaran yang dilakukan
oleh anaknya, Raden Pabelan, yang telah menemui ajalnya. Konon, Senapati telah
memberikan suaka kepada tumenggung itu.[23]
Tindakan sewenang-wenang dari bawahan yang
membangkang itu telah memaksa raja Pajang yang sudah tua itu menggunakan
kekerasah senjata terhadap Mataram. Sebelum terjadi pertempuran, di dekat
Prambanan tentara kerajaan telah pecah, lari cerai-berai terutama karena Gunung
Merapi meletus. Sultan Pajang, dalam perjalanan kembali dari Prambanan ke Pajang
dan selama bermalam di Tembayat, merasa bahwa kerajaannya telah berakhir, dan
akan diganti oleh dinasti Mataram yang akan memerintah seluruh Jawa.[24]
Setelah kembali
di kota keraton,
raja Pajang tidak lama kemudian meninggal - menurut salah satu cerita babad -
akibat perbuatan seorang juru taman yang bersimpati kepada Senapati Mataram.
Kemudian Sultan dimakamkan di Butuh.[25]
Menantunya, raja Demak, memerintah di Pajang
hanya untuk waktu yang singkat. la segera diusir oleh Pangeran Benawa, putra
almarhum raja yang lebih muda, yang bekerja sama dengan Senapati Mataram. Baru
sesudah Pangeran Benawa menyerahkan kekuasaan di Pajang kepada Senapati, raja
Mataram yang muda itu dapat menganggap dirinya raja merdeka di Jawa Tengah
bagian selatan. Sejak itu menurut cerita Jawa ia merhakai gelar "panembahan".
Kejadian-kejadian itu dapat kita tempatkan pada tahun 1588.[26]
XX-5. Perluasan
Kerajaan Mataram selama dua puluh lima tahun
terakhir abad ke-16
Panembahan
Senapati, raja baru itu, karena merasa dirinya pengganti Sultan yang sah,
berkeinginan menguasai juga semua raja bawahan Pajang. Mungkin raja Demak pada
mulanya telah menyesuaikan diri dengan perubahan kekuasaan; ia mengikuti
Panembahan Senapati dalam perlawatannya ke Jawa Timur. Tetapi keturunan terakhir
dinasti Demak yang mulia itu akhirnya terpaksa meninggalkan tanah warisannya.
Mula-mula ia menyingkir ke Malaka dan kemudian ke Banten.[27]
Raja Pragola
dari Pati ialah adik ipar Panembahan Senapati Mataram. Pragola ini pun mula-mina
mengakui kekuasaan tertinggi Mataram. la baru memberontak sesudah Senapati
bertindak dengan kekerasan di Madiun.[28]
Pangeran Kudus,
keturunan orang sucj yang besar peranannya dalam keruntuhan Kerajaan Majapahit
yang "kafir" itu, mungkin sekitar tahun 1590 telah menyingkir ke Jawa Timur,
untuk menghindarkan diri dari penjajahan raja Mataram.[29]
Pangeran Benawa,
anak Sultan Pajang, hanya sebentar berkedudukan di Jipang, sebelum ia dengan
bantuan Senapati dari Mataram menjadi raja Pajang pada tahun 1587-1588.[30] Mungkin pada
tahun 1591 satuan-satuan tentara Mataram telah merebut Jipang, sesudah Madiun
diduduki. Menurut daftar tahun peristiwa Jawa, pada tahun 1598 Senapati
memerintahkan untuk memperkuat Kota Jipang lagi dengan menggunakan tenaga kerja
paksa dari daerah Pajang. Ini mungkin terjadi karena Jipang dan Bojonegoro
merupakan daerah-daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.[31]
Baru pada tahun 1599, pada akhir hidupnya,
Panembahan Senapati Mataram berhasil merebut kerajaan tua Jepara. Pada
kesempatan itu mungkin kota raja Kalinyamat juga dihancurkan.[32]
Pada dasawarsa terakhir abad ke-16, raja
merdeka yang pertama di Mataram telah berhasil - sekalipun dengan
pertempuran-pertempuran sengit dan penghancuran yang dahsyat - menguasai
daerah-daerah terpenting di Jawa Tengah, baik di pedalaman maupun sepanjang
pantai utara. Dapat dipahami bahwa para penguasa setempat di Kedu dan Bagelen -
yang semasa hidup Sultan Pajang sudah mempunyai hubungan baik dengan Mataram -
tetap setia kepada Senapati sesudah menjadi raja merdeka. Dengan keluarga raja
Cirebon di Jawa Barat hubungannya bersahabat, tetapi selama abad ke-16 hal itu
tidak berarti banyak.[33]
XX-6. Permulaan
perang antara raja-raja Mataram dan Surabaya untuk mendapatkan hegemoni di Jawa
Timur
Segera sesudah
Panembahan Senapati Mataram dapat menganggap dirinya pengganti sah raja Pajang
pada tahun 1588 atau 1589, ia berusaha agar kekuasaannya diakui oleh raja-raja
Jawa Timur yang pada tahun 1581 - di keraton Sunan Prapen di Giri - telah
mengakui raja Pajang sebagai sultan.[34] Panembahan
Senapati bersama pasukan yang besar sekali bergerak ke timur; raja-raja di Pati,
Demak, dan Grobogan - atas anjuran paman dan penasihat Senapati, Mandaraka -
juga menuju Surabaya untuk memberikan bantuan. Tetapi di daerah
Japan (Mojokerto yang
sekarang) mereka dihadapi oleh pasukan raja-raja Jawa Timur yang besar sekali
jumlahnya di bawah pimpinan raja Surabaya . Pertempuran yang hampir meledak masih
dapat dicegah oleh perutusan Sunan Giri, yang mendesak Panembahan Senapati dan
raja Surabaya untuk menentukan nasib sendiri dengan mengadakan pilihan antara
"kulit" dan "isi". Sesudah memilih, kedua raja tersebut berpisah tanpa
bertempur.[35]
Apapun pendapat orang tentang cerita ini, yang
sudah pasti ialah bahwa Panembahan Senapati Mataram tidak mendapat pengakuan
yang diharapkan dari pihak para penguasa di Jawa Timur sebagai maharaja atau
sultan, sebagai pengganti raja Demak dan raja Pajang. Sesudah usahanya untuk
berkuasa di Jawa Timur lewat saluran diplomatik ternyata gagal, pada dasawarsa
terakhir abad ke-16 Senapati berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan yang
berbatasan dengan daerahnya di sebelah timur. Usaha itu hanya sebagian
berhasil.
Menurut cerita
babad dari abad ke-17, Panembahan Senapati Mataram pada tahun 1589 atau 1590
telah terlibat (atau terpancing) dalam perselisihan dengan raja Surabaya
mengenai daerah Warung (di Blora yang sekarang), yang terletak di perbatasan
kedua daerah berpengaruh itu. Akhirnya Senapati memaksa penguasa setempat.di
Warung mengakui kekuasaan tertinggi Mataram.
Insiden itu
menjadi alasan bagi raja Madiun untuk memperlihatkan secara terang-terangan
ikatannya dengan raja-raja Jawa Timur. Sebagai keturunan keluarga raja Demak,
panembahan Madiun dengan rela mengakui kekuasaan tertinggi Sultan Pajang; tetapi
sikapnya terhadap raja Mataram yang baru itu menjadi negatif ketika nafsu
berkuasa raja muda itu terlihat jelas.
Usaha Panembahan
Senapati untuk menguasai Kerajaan Madiun diuraikan panjang lebar dalam buku-buku
sejarah di Mataram. Ternyata, direbutnya Madiun itu dianggap sebagai sukses
besar pertama kebijaksanaan politik agresif raja merdeka pertama dinasti Mataram
itu. Kemenangan Senapati ini juga dianggap sebagai keberhasilannya memiliki baju
"keramat" Kiai Gundil atau Kiai Antakusuma, yang telah diterimanya langsung dari
Yang Mulia Kadilangu, Sunan Kalijaga, penguasa pertama di Kadilangu, konon
membawa baju "keramat" itu dari Masjid Demak; dan sejak pertempuran di Madiun,
baju itu menjadi salah satu pusaka bagi keluarga raja
Mataram.
Pertempuran
merebut Madiun, kira-kira pada tahun 1590, berakhir dengan mundurnya panembahan
Madiun ke Wirasaba, daerah aman di tengah-tengah Jawa Timur. Pertempuran itu
juga berakhir karena kawin paksa romantis antara Senapati dan putri Madiun,
Retna Dumilah, yang ditinggalkan di istana. Dengan perkawinan itu keluarga raja
Mataram yang masih muda itu berasal dari keluarga sederhana untuk pertarna kali
terikat hubungan keluarga dengan salah satu.keluarga raja yang tua di
Jawa.[36]
Tindakan
kekerasan Senapati di Madiun menyebabkan perpecahan antara dia dan iparnya, Raja
Pragola di Pati, anak Ki Panjawi yang dahulu menjadi kawan seperjuangan ayah
Senapati, Ki Pamanahan. Menurut cerita tutur Mataram, raja Pati pada tahun 1600
- waktu nafsu berkuasa Mataram agaknya terasa berbahaya bagi dirinya - melakukan
ekspedisi bersenjata ke pedalaman untuk menghentikan nafsu imperialisme iparnya.
Namun, dekat Prambanan, di perbatasan timur daerah pusat Mataram, ia dipaksa
kembali ke kerajaannya di pantai utara dengan tangan hampa.[37]
Tidak lama
sesudah Panembahan Senapati merebut daerah Madiun, ia terpaksa berperang melawan
penguasa di Kaniten, yang menganggap dirinya bawahan raja di Pasuruan. Kaniten
terletak di wilayah Magetan sekarang. Ternyata, raja-raja di Surabaya dan
Pasuruan yang sangat berkuasa dan berhubuegan keluarga itu masih tetap diakui
kekuasaannya sampai jauh di pedalaman Jawa Timur. Menurut cerita tutur Mataram,
sesudah dikalahkan oleh Senapati, penguasa Kaniten ini lari ke Pasuruan. Sampai
di sana ia
dibunuh atas perintah raja sebagai hukuman atas tindakan pengecutnya. Cerita itu
dalam cerita-cerita babad dikisahkan dengan banyak dibumbui, sebagai salah satu
kemenangan besar Senapati.[38]
XX-7. Panembahan
Senapati dari Mataram pada puncak kekuasaannya
Sesudah
menduduki Kerajaan Madiun pada tahun 1590, raja Mataram ini tidak berhasil
memperluas daerahnya lebih jauh ke timur. Pada tahun 1591 rupanya ia berusaha
lagi menduduki Kediri , dengan memanfaatkan perselisihan antara
dua calon pengganti raja yang berkuasa di kerajaan yang penting itu. Ratu Jalu
yang mengakui kekuasan tertinggi raja Surabaya tetap memegang kekuasaan. Lawannya,
yang dalam cerita tutur Mataram diberi nama Senapati, minta bantuan senjata
kepada panembahan Mataram dalam usahanya menguasai kota keraton. Suatu pasukan
Mataram sampai ke dekat Kota Kediri, tetapi akhirnya Senapati beserta
pengikutnya harus meninggalkan benteng pertahanannya. Bersama dengan laskar
Mataram ia bergerak mundur, lalu mencari perlindungan pada Panembahan. Raja
Mataram menerima dia sebagai anak angkat. Kedatangan kelompok orang-orang
terkemuka dari Kediri itu merupakan suatu keuntungan bagi
Keraton Mataram, karena mereka memperkenalkan secara lebih baik hasil-hasil
ciptaan peradaban Jawa Timur. Menurut cerita tutur, Senapati Kediri itu (mungkin
masih muda) ikut serta menyelesaikan atau memperbaiki tembok benteng batu yang
mengelilingi istana raja Mataram yang selesai pada tahun 1592 atau
1593.[39]
Usaha raja
Mataram merebut ditanggapi oleh raja-raja Jawa Timur dengan serangan balasan
yang menyebabkan pertempuran besar antara tahun 1593 dan 1595. Menurut cerita
tutur Mataram, pasukan-pasukan Jawa Timur dipimpin oleh Adipati Pesagi dan
Adipati Gending. Panembahan Senapati (yang sudah mulai tua) mempercayakan
sebagian laskarnya di bawah pimpinan Senapati Kediri yang masih muda itu.
Orang-orang Jawa Timur menguasai daerah Madiun lagi, tetapi mereka tidak dapat
menembus masuk ke daerah inti Mataram, dan akhirnya mereka bergerak mundur.
Pertempuran-pertempuran yang menentukan terjadi di dekat Uter dan Jatisari.
Dekat Uter Senapati Kediri yang masih muda itu gugur. la dimakamkan di Wedi, di
sebelah selatan Klaten sekarang.[40]
Pada tahun 1598
dan 1599, menurut daftar tahun peristiwa Jawa, tentara Mataram mengadakan
serangkaian serangan terhadap'Tuban. Tetapi tentara Mataram tidak berhasil
menduduki kota
pantai yang telah diperkuat itu. Pada tahun-tahun itu pelaut-pelaut Belanda
masih menyaksikan makmurnya kota tersebut; rajanya seorang penguasa yang
megah, bersikap ramah terhadap orang-orang asing itu. Tentang kekuasaan raja
Mataram di pedalaman Jawa Tengah sama sekali mereka tidak tahu.[41]
Serangan-serangan
terhadap Tuban tidak dicantumkan dalam Babad Mataram. Begitu juga tidak
tercantum pendudukan Kalinyamat, kota keraton Kerajaan Jepara pada tahun 1599.
Kejadian-kejadian itu hanya dicantumkan pada daftar tahun peristiwa
Jawa.[42]
Terus bertambah
besarnya kekuasaan Panembahan Mataram telah mendorong iparnya, Adipati Pragola I
dari Pati, menuntut supaya ia benar-benar diakui sebagai raja merdeka. Sesudah
Madiun diduduki dan setelah perkawinan antara Senapati Mataram dan putri Madiun
pada tahun 1590, hubungan antara keraton-keraton di Pati dan Mataram menjadi
renggang. Konon, pada tahun 1600 Raja Pragola dengan kawalan sejumlah, besar
orang bersenjata bergerak dari Pati menuju Mataram. Di daerah Prambanan, dekat
Kali Dengkeng, terjadi pertempuran; ia berhadapan dengan Panembahan Senapati
sendiri. Akibat pertempuran itu Pragola kembali lagi ke kota istananya. Permusuhan
dengan raja Pati itu, satu-satunya yang masih mempunyai pertalian keluarga di
antara raja-raja yang memerintah di Jawa, menyebabkan Panembahan Senapati
Mataram merasa dirinya lebih terpencil dari sebelumnya.[43]
Hanya dari
sebuah sumber Belanda diketahui bahwa Panembahan Senapati pada tahun-tahun akhir
abad ke-16 masih berusaha agar kekuasaannya diakui di Banten. Dalam laporan yang
panjang (Eerste Schipvaert, jil. I, hal.103 dan 106) diberitakan bahwa pada
tahun 1596 di Banten terasa ancaman dari Mataram. Pada waktu itu baru pertama
kali Banten disinggahi armada Belanda, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman.
Pada akhir tahun 1598, waktu Jacob van Neck dengan armadanya berlabuh di Teluk
Banten, didengar kabar bahwa raja Mataram dengan laskar besar lewat laut telah
mengepung Banten, tetapi tanpa hasil. Perincian lainnya tidak diberitakan pada
laporan Belanda itu (Tweede Schipvaert, jil. I, hal. 89). Kalau diakui bahwa
pada tahun 1598 pasukan-pasukan Mataram telah dikirim untuk menyerang Tuban, ada
kemungkinan bahwa ekspedisi ke Banten itu terjadi pada tahun 1597. Pada waktu
itu Panembahan Senapati belum mempunyai kota-kota pelabuhan yang dapat digunakan
di pantai utara Jawa Tengah (Pati-Juwana dan Jepara). Mungkin ia telah
memanfaatkan hubungannya dengan Keraton Cirebon
yang cukup bersahabat itu untuk dapat menggunakan kota pelabuhan Jawa Barat itu sebagai batu
loncatan bagi ekspedisi maritim terhadap Banten. Konon Cirebon pada
dasawarsa-dasawarsa terakhir abad ke-16 dan pada paruh pertama abad ke-17
diperintah oleh cicit Sunan Gunungjati. Wali itu dalam cerita Jawa hanya disebut
dengan nama Pangeran Ratu (lihat Bab VII-4). Pangeran Ratu dari Cirebon pada
tahun 1590 pernah menerima bantuan dari Senapati Mataram untuk membangun atau
memperkuat tembok benteng yang mengelilingi kotanya, karena kemungkinan besar.
akan timbul permusuhan. Kenyataan bahwa Banten dahulu suatu daerah yang
didirikan oleh tokoh besar raja Sunan Gunungjati (kira-kira pada tahun 1525,
lihat Bab VII-3) menyebabkan raja-raja Cirebon
kemudian menerima baik usul Mataram untuk berusaha menempatkan kembali Banten di
bawah kekuasaan Cirebon (dan Mataram). Pagarage (Garage ialah
nama Sunda) dari tahun 1650, di bawah pemerintahan Sunan Mangkurat I
Seda-Tegal-Wangi dari Mataram, tercatat dalam Sadjarah Banten
karena adanya usaha merebut kemerdekaan Banten oleh gabungan kekuatan
Cirebon-Mataram (lihat Graaf, Sunan Mangku Rat, jil. I, hal. 41).
Usaha-usaha itu tidak pernah berhasil, juga disebabkan oleh politik netral
Kompeni di Betawi sejak 1619.
XX-8. Panembahan
Senapati sebagai peletak dasar Kerajaan Mataram Islam
Raja merdeka
pertama di Mataram mangkat pada tahun 1601. Tahun kejadian itu sudah pasti,
karena pada tahun itu terjadi gerhana matahari yang dicatat pada kronik-kronik
Jawa di samping peristiwa kematian itu. la meninggal di Kajenar (di daerah
Sragen). Oleh sebab itu, dalam sejarah Jawa ia disebut juga
Seda-ing-Kajenar. Ia dimakamkan di bawah kaki ayahnya, Ki Pamanahan, di
tempat permakaman tua dekat kota istana Kotagede, yang telah mereka bangun
dan perluas.[44]
Tidak ada
berita-berita dari orang-orang luar - bangsa Portugis atau Belanda - yang
kiranya dapat memberi gambaran tentang peletak dasar kekuasaan dinasti Mataram
ini. Tanpa menyebutkan nama, suatu berita Belanda hanya mengabarkan adanya
seorang raja di Mataram (lihat bagian sebelum ini). Karena itu, hanya hasil
kerjanyalah yang dapat memberi kesaksian tentangnya. Ternyata, usahanya telah
berhasil: kira-kira dalam waktu 15 tahun kekuasaan Mataram telah diakui oleh
sebagian besar Jawa Tengah; perlawanan keluarga-keluarga raja yang lebih tua di
Jawa Timur telah dapat ditahannya. Kekerasan kemauan dan ketangkasan yang sudah
menjadi bawaannya telah merangsang kegairahan bertindak dan semangat tempur
bawahannya. Penduduk daerah Mataram, yang baru pada perempat ketiga abad ke-16
dikuasai oleh Ki Pamanahan, sebagian besar terdiri dari para pendatang baru dari
daerah-daerah lain di Jawa yang karena berbagai hal telah mengadu untung di luar
kampung halaman mereka. Dapat diperkirakan bahwa generasi pertama dan kedua para
pengadu untung di Mataram itu - berkat raja yang berkemauan keras dan haus
kekuasaan - telah rela ikut berperang, dengan harapan dapat pulang membawa harta
rampasan dari daerah-daerah di Jawa Timur dan di Pesisir yang dikuras habis.
Laki-laki dan perempuan, yang dipaksa ikut pindah dan bekerja keras di Mataram,
memungkinkan "wong Mataram" yang merdeka dengan sepenuh tenaga mengabdi pada
keraton dan masuk tentara. Hal itu berlangsung di zaman pemerintahan Sultan
Agung sampai pada pertengahan abad ke-17, yang menjadi dasar perkembangan
kekuatan Mataram.
Sekalipun
Panembahan Senapati banyak mencapai sukses di bidang politik-militer, ia tidak
berhasil mendapatkan pengakuan dari raja-raja Jawa lain sebagai raja yang
sederajat dan sejajar dengan mereka. Karena dari perkawinan pertamanya, ia hanya
mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Pati. Dengan raja Pragola
akhirnya ia malah bermusuhan. Perkawinan yang dipaksakan dengan putri Madiun,
yang dalam cerita tutur Mataram diberitakan dengan penuh kebanggaan, malah
menjatuhkan namanya di kalangan raja-raja Jawa Timur. Kecuali itu Panembahan
Senapati juga mempunyai hubungan keluarga dengan keturunan Ki Giring dan Ki
Kajoran, yang mempunyai hak lebih tua di Jawa Tengah bagian selatan daripada
keturunan Panembahan Senapati sendiri. Tetapi mereka itu hanya memiliki sedikit
kekuasaan duniawi.[45] Anak sulung
Panembahan, Raden Rangga, konon beribukan seorang putri dari istana Kalinyamat.
Oleh Ratu Kalinyamat putri itu sebenarnya telah disediakan bagi iparnya, Sultan
Pajang.
Menurut cerita
babad dari Mataram, tidak lama sebelum meninggalnya Panembahan Senapati dengan
tegas telah menunjuk anak satu-satunya yang masih hidup - anak garwa padmi putri
dari Pati - Raden Mas Jolang sebagai penggantinya meskipun masih muda. Raja yang
masih muda itu memang dilantik sesudah ayahnya meninggal, terutama karena
pengaruh Adipati Mandaraka yang sudah tua dan yang sudah sudah lama mengabdi
sebagai patih. Juga karena pengaruh Pangeran Mangkubumi, adik Panembahan
Senapati.[46] Raja kedua di
Mataram itu dalam sejarah Jawa terkenal dengan nama anumertanya, Seda-ing
Krapyak, karena ia meninggal pada usia cukup muda karena kecelakaan di
Krapyak tahun 1613. Krapyak adalah sebuah cagar alam binatang, taman
berburu.
XX-9. Peradaban
Keraton Mataram pada paruh kedua abad ke-16
Tidak ditemukan
cerita tutur Jawa yang dapat dipercaya mengenai kegiatan budaya di daerah
Mataram selama pemerintahan Ki Pamanahan dan anaknya, Panembahan Senapati. Pada
paruh kedua abad ke-16 di istana Kerajaan Pajang terdapat kegiatan sastra,
tasawuf, agama, dan seni bangunan yang mula-mula timbul di daerah sepanjang
pantai utara Jawa dan di Jawa Timur. Tetapi pengaruh kebudayaan Pajang
kelihatannya tidak terasa di keraton para penguasa pertama Mataram, mungkin
karena perhatian mereka sepenuhnya tercurah pada soal-soal materiil, pengolahan
tanah, dan penggarapan daerah yang tandus, di samping penanaman kekuasaan
politik. Baru raja merdeka yang ketiga di Mataram, yang akan terkenal sebagai
Sultan Agung (1613-1646), mulai berusaha menaikkan martabat keraton di bidang
kebudayaan, sesuai dengan kedudukannya sebagai suatu istana
raja.
Penggambaran
yang sedikit dalam cerita tutur Jawa mengenai kegiatan dalam bidang kebudayaan
di Kerajaan Mataram abad ke-16 jelas menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempertinggi peradabannya itu datang dari daerah-daerah Pesisir Utara dan Jawa
Timur. Menurut cerita tutur, pembangunan tembok keliling di istana raja Mataram
dapat terlaksana berkat Sunan Kalijaga, wali dari Kadilangu, dan selanjutnya
berkat kegiatan Senapati Kediri, seorang keturunan raja Jawa Timur. Dalam
legenda, juga pada kesempatan-kesempatan lain Sunan Kalijaga bertindak sebagai
penasihat raja di bidang agama.
Cerita tutur
Jawa tentang riwayat keturunan para wali di Ngadilangu (dekat Demak), jadi
keturunan Sunan Kalijaga, tidak begitu jelas. Mungkin raja-raja pertama di
Mataram telah memandang wali dari Ngadilangu sebagai penasihat atau pembimbing.
Sering munculnya Sunan Kalijaga dalam pelbagai cerita dapat ditafsirkan adanya
bahwa Mataram telah menerima agama dan peradabannya sebagian besar dari
kerajaan-kerajaan Pesisir yang sudah lebih tua itu.[47] Sunan Kalijaga,
sebagai moyang, juga terkenal sebagai penghulu masjid suci di
Demak.
Pada abad ke-16 ekonomi daerah Mataram masih
sepenuhnya bergantung dari pertanian. Jarang sekali ada cerita tutur Jawa yang
menunjukkan besarnya perdagangan hasil-hasil pertanian dengan daerah-daerah
tetangga. Masyarakat Giring, yang tinggal di Gunung Kidul, mengekspor gula
jawa/gula aren, karena di daerah itu menyadap nira adalah mata pencaharian.
Berbeda dengan Mataram, sudah sejak paruh pertama abad ke-16 Pajang dan Pengging
berdagang dengan daerah-daerah di pantai utara. Legenda tentang tokoh yang
kemudian menjadi Sunan Tembayat, yang termasuk keturunan bangsawan Semarang , menceritakan
bahwa ia, sebelum mengabdikan diri sepenuhnya kepada agama, bekerja sebagai
pedagang beras di sekitar Kota Klaten yang sekarang ini. Usaha itu dipimpin oleh
seorang wanita pedagang setempat. Dapat diperkirakan bahwa ia telah menyalurkan
beras surplus dari daerah selatan yang subur itu ke kota-kota pelabuhan Pesisir,
untuk selanjutnya dijual lagi kepada pedagang-pedagang dari seberang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar