Terlalu sedikit
diketahui tentang sejarah Jawa Barat dari zaman sebelum Islam. Karya-karya
tulisan Sunda kuno, yang mestinya dapat memberikan keterangan-keterangan,
tersimpan dalam keadaan yang menyedihkan sehingga sukar
diselidiki.
Sudah sejak
zaman pra-Islam Jawa Barat terpengaruh oleh peradaban Jawa. Karena penyebaran
agama Islam oleh orang Jawa yang telah merebut daerah sepanjang pantai utara
(perebutan daerah ini akan dibicarakan dalam bagian-bagian berikutnya), bahasa
Sunda sebagai bahasa tulis untuk waktu lama telah terdesak oleh bahasa Jawa.
Baru pada abad ke-18 dan ke-19 menulis dalam bahasa Sunda mulai menjadi
kebiasaan lagi. Balada-balada dan sajak-sajak kepahlawanan dalam bahasa Sunda,
yang ditulis pada abad ke-19, memuat beberapa cerita legenda tentang zaman
dahulu (prasejarah). Bagi sejarawan, legenda-legenda ini sedikit saja
artinya.[1]
Hanya dua legenda Jawa yang perlu diberitakan
di sini, yaitu yang mengisahkan adanya hubungan antara Jawa Barat dan Jawa
Timur. Satu dari dua cerita ini menganggap bahwa berdirinya kota kerajaan Majapahit itu
berkat usaha seorang pangeran Sunda, yang konon terpaksa melarikan diri dari
tanah asalnya. Legenda ini mempunyai beberapa versi, yang termuat dalam
buku-buku cerita (Serat Kandha) dan cerita-cerita babad, baik di Jawa Tengah dan
Jawa Timur maupun di Jawa Barat. Tidak diketahui apa yang menjadi dasar
penyusunannya; legenda itu tidak didasarkan pada cerita sejarah yang sudah
dikenal dari tulisan Jawa yang lebih dapat dipercaya.[2]
Cerita lain
tentang hubungan antara orang Sunda dan orang Jawa Timur terdapat dalam
balada-balada Jawa atau Jawa-Bali, boleh jadi dari abad ke-15 atau ke-16, yang
melukiskan suatu ekspedisi raja Sunda ke Majapahit, dan kekalahannya dalam
pertempuran melawan raja Jawa. Seorang putri Sunda, yang seharusnya
diperuntukkan bagi raja Majapahit, memegang peranan penting dalam legenda
ini.
Juga tentang
cerita ini kebenaran sejarahnya diragukan secara menyeluruh atau
sebagian.[3]
Satu-satunya
yang dapat kita simpulkan dari adanya legenda-legenda Jawa ini ialah kemungkinan
adanya hubungan lama yang tidak selalu bersahabat - mungkin lewat laut di
sepanjang pantai utara - antara Sunda dan Jawa Timur. Waktu penduduk Jawa Islam
dari Jawa Tengah telah menguasai kota-kota pelabuhan di Jawa Barat, berakhirlah
hubungan langsung antara Jawa Timur dan Jawa Barat.
Daerah-daerah
yang sering disebut dalam legenda-legenda Sunda sebagai daerah kekuasaan
raja-raja yang dianggap penting ialah Pajajaran dan Galuh. Keraton Pajajaran
konon terletak dekat Kota Bogor sekarang. Di situ ditemukan suatu piagam batu
bertulis dari zaman Pajajaran (bertahun 1333 M.).
Daerah Galuh
dahulu terletak di sebelah barat dan barat daya Kota Cirebon sekarang.[4] Tidak diketahui
dengan tepat tempat tinggal raja-raja Galuh dahulu. Dapat diduga, Indramayu
(mungkin dahulu bernama Dermayu), dekat muara Cimanuk - sungai yang mempunyai
daerah aliran yang luas - dahulu merupakan kota pelabuhan Kerajaan Galuh, kerajaan tua di
Sunda. Akibat endapan-endapan lumpur, pangkalan lautnya sekarang tidak berarti
lagi.
VII-2 Permulaan
Jawa Barat memeluk agama Islam: Cirebon
Salah satu
berita tertua tentang Cirebon dalam hubungannya dengan agama Islam
terdapat dalam buku Suma Oriental, karangan musafir Portugis, Tome Pires.
Yang disebutkan oleh Tome Pires sebagai pendiri pedukuhan Islam pertama
(mungkin) di Cirebon ialah ayah Pate Rodin Sejarah keluarga Cina ini, yang
menurut Tome Pires konon menurunkan raja-raja Demak, telah dibicarakan panjang
lebar dalam Bab II-2. Setelah mendarat di Gresik (dan mungkin memeluk agama
Islam), lebih dulu Cu-Cu menetap di Demak. Pada waktu itu (dalam sepuluh tahun
terakhir abad ke-15) Demak masih diperintah oleh seorang penguasa "kafir", raja
taklukan maharaja Majapahit. Penguasa Demak itu telah memanfaatkan jasa-jasa
pedagang Cina Islam tersebut, mungkin untuk meningkatkan perkembangan ekonomi
kota
pelabuhannya. Dalam hubungan itu, sesudah beberapa waktu berlalu ia mengutus
Cu-Cu ke Barat, ke Cirebon (atau mungkin membantu prakarsa Cu-Cu dengan
kekuasaan dan slat-alat) untuk mendirikan perkampungan di sana, yang akan
membantu hubungan dagang yang makin meluas antara Demak dan Jawa Barat. Rupanya,
usaha pedagang Cina itu berhasil baik. Sesudah beberapa waktu, setelah menjadi
kaya dan mempunyai sekadar kekuasaan, ia kembali ke Demak. Kemudian keluarganya
dapat pula memegang kekuasaan pemerintahan di kota pelabuhan itu.
Pemberitaan Tome
Pires tentang dasawarsa terakhir abad ke-15 ini tidak dikuatkan oleh
cerita-cerita Jawa atau Sunda. Oleh karena musafir Portugis itu kira-kira 25
tahun kemudian berada di Jawa, berita itu pantas dipercaya. Dari keadaan
demikian kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum Demak secara pasti dan
nyata menjadi Islam, sudah ada hasrat yang kuat untuk memperluas kekuasaan
(ekonomi) ke arah barat. Panen padi yang sangat besar, yang dihasilkan dataran
rendah aluvial (berkat endapan lampur) yang subur sepanjang pantai utara Kendal
dan Cirebon itu,
merupakan hasil tambahan yang lumayan bagi perdagangan beras Demak dengan
pedagang-pedagang dari seberang.
Dari pemberitaan
Tome Pires tidak terbukti bahwa Cina Islam itu di Cirebon telah mendirikan permukiman yang
benar-benar baru. Nama tempat itu menimbulkan dugaan bahwa penduduk aslinya
orang-orang Sunda. Menurut berita Pires, pangkalan laut yang bagus itu telah
dijadikan alasan bagi orang yang penuh inisiatif itu untuk mendirikan factorij
'perkantoran yang diperkuat' bagi perdagangan Demak. Kemungkinan, daerah
Cirebon (seperti
beberapa daerah lain di sebelah timurnya) ada di bawah kekuasaan raja "kafir"
Sunda di Galuh dan Pajajaran. Kerajaan Galuh konon sudah kehilangan
kemerdekaannya pada zaman dahulu.
Tome Pires
menyebut beberapa kota pelabuhan antara lain
Cirebon dan Demak yang pada permulaan abad ke-16
agak penting, yaitu Losari, Tegal, dan Semarang . Mengenai sejarah kota-kota ini ia
tidak dapat memberikan keterangan yang terinci. Yang jelas dapat diterima ialah
bahwa hubungan antara Demak dan Cirebon diselenggarakan dengan kapal-kapal
pantai, seperti juga hubungan antara Demak dan Gresik, tempat asal
Cu-Cu.[5] Musafir
Portugis itu juga memberikan beberapa keterangan mengenai kota-kota pelabuhan di
Jawa Barat yang masih menjadi milik raja Pajajaran yang "kafir" itu, yang
menolak kedatangan "kaum Moor" (orang-orang Islam). Ini secara tidak langsung
menguatkan dugaan bahwa kampung dagang, yang oleh perantara Cina dari Demak
didirikan di Cirebon , merupakan tambahan daerah bagi kaum
Islam.
Suma
Oriental masih memuat
berbagai pemberitaan mengenai perdagangan laut antara para pedagang Cirebon dan Malaka. Kepala
kampung Jawa dekat Malaka atau di Malaka, yang bernama Upeh, konon berasal dari
Cirebon . Oleh
orang Portugis ia disebut Pate Kedir. Pate Kedir dari Malaka-Upeh ini kiranya di
tempat asalnya Cirebon termasuk orang yang terpandang, juga di
kalangan raja. Tidak diketahui siapa raja itu.
Oleh karena Tome Pites meninggalkan Jawa
kira-kira pada tahun 1515, maka berita-berita tentang perdagangan laut yang
pesat di Cirebon
itu diperkirakan menyangkut masa akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Dari
pemberitaannya, dapat dipahami bahwa pada waktu itu baik di Demak maupun di
Cirebon
terbentuk kelompok-kelompok pedagang Islam yang berhubungan antara yang satu dan
yang lain. Para anggota kelompok-kelompok itu
konon orang-orang berdarah campuran. Masih belum dilupakan orang bahwa
keluarga-keluarga terkemuka mempunyai asal usul Cina.
VII-3 Wali dari
Cirebon, Sunan Gunungjati, legenda dan sejarah
Cerita tutur
Jawa dan Sunda mengenai permulaan agama Islam di Cirebon ternyata tidak
memberitakan apa-apa tentang jemaah Islam lama, yang disebut oleh Tome Pires dan
yang asal mulanya sama dengan yang ada di Demak. Menurut cerita-cerita pribumi,
pujian tentang pengislaman daerah-daerah ini sepenuhnya ditujukan kepada satu
orang perintis agama saja, yang sesudah meninggal diberi julukan Sunan
Gunungjati, sesuai dengan nama bukit dekat Cirebon tempat beliau dimakamkan.[6]
Patut dicatat
suatu kisah dalam buku cerita Jawa (Serat Kandha), bahwa Aria Bangah -
raja Galuh atau Pajajaran dalam legenda Sunda - adalah anak seorang wanita Islam
dari Grage. Jadi, menurut cerita ini, terjalin hubungan keluarga antara
masyarakat Islam dan keluarga raja Sunda. Cerita Jawa Timur tentang Ratu
Darawati, putri Islam dari Campa, yang telah dimasukkan ke dalam keputrian
istana raja Majapahit, merupakan cerita yang senada dengan legenda tentang
Cirebon ini.[7]
Selain dari
cerita-cerita yang berdiri sendiri-sendiri ini, yang ditemukan dalam sebuah buku
cerita, menurut pendapat umum di kalangan penulis cerita-cerita babad, Sunan
Gunungjati telah mengangkat agama Islam menjadi agama yang paling penting di
Jawa Barat. Banyak cerita dalam kesusastraan Jawa dan Jawa - Sunda yang
mengisahkan asal usul dan kehidupan orang suci dari Cirebon ini. Dalam
penelitian sejarah ini hal-hal tersebut tidak akan dikemukakan sebab
cerita-cerita itu pada umumnya termasuk kelompok legenda tentang orang-orang
suci Islam yang bersifat edukatif. Mungkin mitos-mitos kuno dari zaman
pra-Islam, dan yang berasal dari Jawa Barat, telah banyak menambah legenda
tentang para pendakwah Islam di tanah Sunda, Banten, dan Cirebon ini.[8]
Laporan-laporan
dan kisah perjalanan orang Portugis memuat cukup banyak pemberitaan yang dapat
dipercaya tentang penyebar agama Islam ini, yang kemudian berkembang menjadi
seorang negarawan dan pendiri kerajaan-kerajaan di Cirebon dan Banten. Hoesein
Djajadiningrat dalam bukunya tentang Sadjarah Banten, dan dalam
karangan-karangan ilmiahnya yang terbit kemudian, banyak menaruh perhatian
terhadap sejarah orang suci ini. la bernama Nurullah; kemudian terkenal dengan
sebutan Syekh Ibnu Molana. Penulis-penulis Portugis mengenalnya dengan dua nama,
Falatehan dan Tagaril, yang menurut Djajadiningrat merupakan satu orang
saja.[9]
Orang yang
kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunungjati itu berasal dari Pasei,
kota pelabuhan
tua di Aceh. Di situ agama Islam pada akhir abad ke-13 sudah menjadi agama yang
paling kuat. Rupanya, perdagangan dengan daerah-daerah di Seberang (Malaka) dan
dengan daratan Asia selama dua abad telah
mengakibatkan terjadinya percampuran ras di kalangan terkemuka di kota-kota
pelabuhan.
Dengan
direbutnya Pasei oleh orang-orang Portugis pada tahun 1521, maka Nurullah pergi
naik haji ke Mekkah. Tindakan itu, karena dilakukan pada waktu sulitnya hubungan
perjalanan dan adanya peperangan di berbagai daerah, jelas merupakan bukti dari
semangat keagamaan dan kerasnya kemauan. Setelah kembali dari Tanah Suci pada
tahun 1524, ia tidak bermukim di Sumatera Utara atau di Semenanjung, yang
dikuasai atau terancam oleh bangsa Portugis yang kafir itu, melainkan ia pergi
ke Pulau Jawa; di sana ia disambut baik di keraton raja Demak,
yang baru beberapa puluh tahun masuk Islam. Konon, ia diberi hadiah saudara
perempuan Raja Tranggana sebagai istri. Mungkin Nurullah, sebagai peziarah dari
Mekkah, mengetahui perkembangan pemerintahan Kesultanan Turki di Asia Depan dan
Eropa Timur. la menganjurkan kepada raja Demak, iparnya, untuk bertindak sebagai
raja Islam sejati. Gelar sultan yang dipakai Tranggana, dan perluasan
kekuasaannya dengan kekerasan yang merugikan kerajaan "kafir" Majapahit, mungkin
sebagian merupakan pengaruh iparnya, yang dalam perjalanannya telah menginsafi
benar panggilan Islam untuk memperluas daerahnya.
Dengan izin dan
bantuan Sultan Tranggana, tidak lama sesudah tahun 1524 Nurullah berangkat dari
Demak menuju ke Banten untuk mendirikan jemaah Islam di daerah raja "kafir"
Pajajaran. Perkembangan Banten akan dibicarakan dalam Bab berikut
ini.
Menurut
pemberitaan penulis Portugis, Mendez Pinto (yang tidak sepenuhnya dapat
dipercaya), penguasa Islam di Banten yang masih baru ini pada tahun 1546 ikut
serta dalam serangan Demak terhadap Pasuruan (baca: Panarukan) di ujung timur
Jawa, suatu serangan yang berakibat buruk bagi Sultan Tranggana. Menurunnya
kekuasaan pusat, sesudah wafatnya Sultan Tranggana, dimanfaatkan oleh Nurullah
dari Banten untuk menetap di Cirebon . Dapat diduga bahwa pada zaman
pemerintahan Sultan Tranggana, kota pelabuhan
Cirebon dengan
masyarakat Islamnya yang berdarah campuran Cina itu tidak besar kebebasannya.
Sunan Gunungjati-lah yang berhasil mengubah Cirebon menjadi ibu kota kerajaan yang
merdeka.
Waktu ia
benar-benar telah pindah dari Banten ke Cirebon , umurnya telah lebih dari 60 tahun.
Alasan mengapa ia meninggalkan kota pelabuhan
Banten yang makmur itu untuk menetap di Cirebon tidak diketahui orang. Dapat dimengerti
bahwa ia - juga karena asal usul istrinya dari Demak - lebih suka tinggal di
tempat yang tidak terlalu jauh dari pusat kehidupan Islam di Jawa Tengah, yaitu
Masjid Demak, daripada di sudut negeri yang paling barat. Cerita-cerita tutur
Jawa memberitakan adanya pengaruh kebudayaan di Cirebon yang datang dari
peradaban Majapahit yang "kafir" itu, yang keluarga-rajanya pada tahun 1526
telah diusir oleh orang-orang Islam. Tempat kediaman raja di Cirebon , yang masih ada
peninggalan-peninggalannya, dengan jelas menunjukkan adanya ciri-ciri yang
meniru contoh Jawa lama dari abad ke-18 (lihat Pigeaud, Java, jil V,
denah I dan fI). Tidak ada kepastian bahwa Sunan Gunungjati, segera sesudah
menetap di Cirebon , mulai mendirikan keraton besar. Yang
jelas ialah bahwa ia telah menyuruh membuat masjid yang besar, atau menyuruh
memperluas tempat ibadat yang ada, dengan gaya yang sama seperti Masjid Suci
Demak, yang telah menjadi model bagi semua masjid besar di kota-kota besar Jawa.
Tahun yang ditatah pada batu bangunan pada masa pemerintaho raja pertama yang
merdeka di kota
itu.
Menurut cerita
Banten (Sadjarah Banten), Sunan Gunungjati itu sampai tahun 1552 masih
berkedudukan di Banten. Kabarnya, ia telah menyerahkan Cirebon yang sudah lama
dikuasainya kepada salah seorang putranya. Baru sesudah putra itu - yang hanya
dikenal dengan nama anumerta Pangeran Pasareyan, yang mengingat tempat makamnya
- meninggal pada tahun 1552, sultan yang telah tua itu mengambil keputusan untuk
pindah selama-lamanya dari Banten ke Cirebon . Mungkin ia bermaksud juga membaktikan
dirinya pada kehidupan rohani dan penyebaran agama Islam. Di kota pelabuhan Banten yang
ramai itu tinggallah putranya yang lain, Hasanuddin, sebagai
raja.
Sementara itu,
ada kemungkinan bahwa pada masa hidup Sultan Tranggana dari Demak (ia meninggal
pada tahun 1546) Sunan Gunungjati - setidaknya sekali-sekali - telah tinggal di
Cirebon . Cerita
yang memberitakan bahwa ia di situ telah menerima Sahid dari Tuban, yang kelak
menjadi Sunan Kalijaga, yang diberinya salah seorang anak perempuannya sebagai
istri, memang layak dipercaya. Sahid, seorang bangsawan Jawa yang mungkin
berasal dari kerajaan tua Majapahit, sesudah bertempat tinggal di Cirebon baru pergi ke
Keraton Demak (mungkin dengan membawa rekomendasi dari Orang Suci Nurullah
kepada iparnya Sultan Tranggana). Penghormatan tinggi yang diterima oleh
bangsawan Jawa dari Tuban itu di Keraton Demak agaknya telah menyebabkan
penghulu Masjid Suci (di Demak) meninggalkan Demak dan mendirikan "kota suci" Kudus (lihat Bab
IV-2).
Raja yang tua
itu, yang mungkin semasa hidupnya sudah memakai gelar susuhunan, pada tahun 1570
meninggal dalam usia lanjut di Cirebon - mungkin telah lebih dari 80 tahun. la
dimakamkan di bukit rendah di luar kota , Gunungjati, konon mula-mula bernama
Gunung Sembung. Mungkin juga bahwa ia semasa hidupnya pernah tinggal di situ.
(Bandingkanlah Susuhunan Prawata dari Demak, dan Sunan Giri dari Gresik; mereka
hidup sezaman).
Pengaruh agama
yang meluas dari Cirebon ke tanah Sunda ternyata besar sekali.
Makam susuhunan suci dari Gunungjati merupakan tempat ziarah yang paling ramai
dikunjungi orang di Jawa Barat. Penyebaran agama Islam dan meluasnya bahasa dan
kesenian Jawa ke tanah Sunda bagian timur merupakan pengaruh Cirebon .
Kekuasaan
pemerintahan yang berarti tidak dimiliki susuhunan dari Cirebon . la berusaha
memperkuat posisi politiknya dengan jalan perkawinan. Setelah ia sendiri kawin
dengan saudara perempuan Sultan Tranggana dari Demak, ia menyuruh putranya,
Hasanuddin dari Banten, pada tahun 1552 kawin dengan putri yang ditinggalkan
raja. Sultan Pajang, Jaka Tingkir, dan Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang karena
jatuhnya keluarga-raja Demak telah menjadi penguasa-penguasa yang paling kuat di
Jawa Tengah, sangat menghormati dia.
Hoesein
Djajadiningrat berpendapat bahwa wibawa kerohanian Sunan Gunungjati dan
penggantinya di Jawa Barat sebenarnya kurang besar dibandingkan dengan "para
ulama" Giri/Gresik di Jawa Timur pada abad ke-16 dan lebih-lebih pada abad ke-17
(Djajadiningrat, Banten, hal. 100 dan seterusnya). Mungkin perlu
diperhitungkan juga bahwa Gresik dan Surabaya pada awal abad ke-16 sudah mempunyai
jemaah Islam. Lagi pula, pengaruh agama Islam yang datang dari Giri/Gresik
dikuatkan lagi oleh kenangan akan peradaban "kafir", yang beberapa abad lamanya
telah berkembang di Jawa Timur. Dalam kedua hal itu, yaitu usia tradisi Islam
dan perkembangan kebudayaan pada abad ke-16 dan ke-17 dan sesudahnya, Jawa Barat
masih ketinggalan dari Jawa Timur.
VII-4
Pemimpin•pemimpin agama Cirebon yang
selanjutnya
Menurut cerita
sejarah di Jawa Barat, pada tahun 1570 Sunan Gunungjati sebagai penguasa Cirebon
telah diganti oleh seorang cicitnya, yang hanya terkenal dengan gelar Pangeran
Ratu atau Panembahan Ratu. Tentang dia amat sedikit yang diketahui. Di satu
pihak, ia telah mengalami kemakmuran Banten sebagai kota pelabuhan dan
runtuhnya kerajaan "kafir" terakhir di Jawa Barat, yaitu Pakuwan Pajajaran.
Tidak ada bukti bahwa prajurit-prajurit dari Cirebon ikut bertempur dalam penaklukan
Pakuwan; konon Pakuwan telah diduduki oleh orang-orang dari Banten. Di pihak
lain, raja Cirebon yang kedua mengalami kematian Sultan
Pajang pada tahun 1586 dan lahirnya Kerajaan Mataram di Jawa Tengah sebelah
selatan.
Sungguh menarik
perhatian bahwa raja-raja Mataram sejak semula dalam perempat terakhir abad
ke-16, mempunyai hubungan yang cukup baik dengan penguasa-penguasa setempat di
daerah Jawa sebelah barat daerah inti kerajaan, yakni daerah itu di sebelah
barat Sungai Bogowonto. Para penguasa di daerah pedalaman bagian barat Jawa dan
juga para raja Cirebon agaknya tidak memberikan perlawanan dan
mengakui penguasa Mataram. Sebuah cerita mengabarkan bahwa pada tahun 1590 raja
Mataram, Panembahan Senapati, membantu "para pemimpin agama" Cirebon , Pangeran Ratu,
untuk mendirikan atau memperkuat tembok yang mengelilingi kotanya. Mungkin pada
waktu itu raja Mataram menganggap Cirebon suatu pertahanan militer di bagian
barat kerajaannya (lihat juga bagian akhir Bab XX-7).
Dapat dipastikan
bahwa Pangeran Ratu dari Cirebon , pengganti Orang Suci Sunan Gunungjati,
dianugerahi usia panjang sekali, seperti pendahulunya. Ia baru meninggal pada
tahun 1650. Penggantinya seorang raja yang dikenal dengan nama Pangeran
Girilaya.
Di Cirebon
Pangeran Ratu pasti mengalami pergolakan zaman, yaitu munculnya kekuasaan
Belanda, berdirinya Batavia, dan peperangan raja-raja Mataram dan Banten melawan
kota itu. Tidak ada kenyataan bahwa Pangeran Ratu bertindak dengan kekerasan
mempengaruhi keadaan politik pada waktu itu. Meskipun begitu, wibawa kerohanian
keturunan Sunan Gunungjati tidak diragukan. Pada paruh kedua abad ke-17 dinasti
itu terpecah menjadi beberapa cabang, yang masing-masing mempunyai
keraton.
Pada abad ke-17
dan ke-18, di keraton-keraton Cirebon telah berkembang kegiatan sastra yang
sangat memikat perhatian. Hal itu antara lain terbukti dari kegiatan mengarang
nyanyian keagamaan Islam, yang disebut suluk, yang bercorak mistik. Hal
ini pun menunjukkan bahwa pengaruh rohani Sunan Gunungjati itu masih
berlangsung.[10]
Kedaulatan atas
daerah Cirebon
termasuk daerah-daerah Sunda pada tahun 1705 telah diserahkan oleh susuhunan di
Kartasura kepada Kompeni (VOC) di Betawi. Keraton-keraton para keturunan Sunan
Gunungjati di Kota Cirebon masing-masing tetap dipertahankan di
bawah kekuasaan dan dengan tunjangan uang dari pemerintah Hindia Belanda hingga
abad ke-20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar