Halaman

2/05/2016

Peradaban Islam Setelah Baghdad Hancur Di Kerajaan Mongol, Mamluk, Usmaniyah, Dan Syafawiyah


Setiap bangsa pastilah memiliki sejarah masa lalunya, beserta hasil peradaban saat itu. Sebagaimana dengan peradaban-peradaban lain di dunia, kerajaan Mongol, Mamluk, Usmaniyah dan Syafawiyah pun memiliki kekayaan sejarah dan peradaban yang tak ternilai sumbangannya terhadap peradaban dunia pada umumnya dan Islam pada khususnya. Di samping itu sebuah peradaban dari suatu bangsa kadangkala mengalami pasang surut, ada masanya maju dan jaya tapi ada saatnya juga mundur bahkan mungkin hancur. Hal ini juga dialami oleh kerajaan yang empat di atas. Untuk lebih jelasnya akan dibahas pada makalah berikut ini.

A. KERAJAAN MONGOL DI PERSI (1258- 1517)
Jatuhnya Kota Baghdad pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap di bumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.

1. Asal-Usul Bangsa Mongol
Bangsa Mongol berada di wilayah pegunungan Mongolia, berbatasan dengan Cina di Selatan, Turkestan di Barat, Manchuria di Timur, dan Siberia di sebelah Utara. Kebanyakan dari mereka mendiami padang stepa yang membentang di antara pegunungan Ural sampai pegunungan Altai di Asia Tengah, dan mendiami hutan Siberia dan Mongol di sekitar Danau Baikal.
Dalam rentang waktu yang relatif panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana mereka mendirikan perkemahan dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menggembala kambing, berburu. Mereka hidup dari hasil perdagangan tradisional yaitu mempertukarkan bangsa Turki dan Cina yang menjadi tetangga mereka. Kesehariannya, sebagaimana dipredikatkan pada sifat nomad,mereka mempunyai sifat kasar, suka berperang, berani mati dalam mewujudkan keinginan dan ambisi politiknya. Namun, mereka sangat patuh dan taat pada pimpinannya dalam satu bingkai agama Syamaniyah, yaitu kepercayaan yang menyembah bintang-bintang dan matahari terbit.
Namun demikian, ada satu pendapat yang mengatakan bahwa bangsa Mongol bukanlah suku nomad sebagamana dimaksud, tetapi satu bangsa yang memiliki ketangkasan berkuda yang mampu menaklukkan stepa ke stepa, akibatnya kehidupan mereka berpindah-pindah mengikuti wilayah taklukannya dibawah kepemimpinan seorang Khan. Khan yang pertama dari bangsa Mongol itu adalah Yesugey, ayah Chinggis atau Jengis.
Runtut etniknya berasal dari nenek moyang yang bernama Alanja Khan yang dikaruniai dua orang putera kembar yaitu Tartar dan Mongol. Dari kedua putera ini melahirkan dua keturunan bangsa, yaitu Mongol dan Tartar. Dari yang pertama lahirlah seorang bernama Ilkhan yang di kemudian hari menjadi pemimpin bangsa Mongol.

2. Ciri-ciri Masa Mongol
a. Berpindahnya pusat ilmu.
Kegiatan ilmu pada masa Abasiyah berpusat di kota-kota Baghdad, Bukhara, Naisabur, Ray, Cordova, sevilla. Ketika kota-kota tersebut hancur maka kegiatan ilmu berpindah ke kota-kota Kairo, Iskandar, Usyuth, faiyun, damaskus, Hims, Halab, dan lain-lain kota di kota Mesir dan di Syam.
b. Tumbuhnya ilmu-ilmu baru.
Pada masa ini mulai matang ilmu Umron (Sosiologi ) dan filsafat Tarikh ( Philosophy of history ) dengan munculnya Muqaddimah Ibn Khaldun sebagai kitab pertama dalam bidang ini. Juga mulai di sempurnakan penyusunan ilmu politik, ilmu tata usaha, ilmu peperangan, ilmu kritik sejarah.
c. Kurangnya Kutubul khanah.
Zaman ini banyak perpustakaan besar yang musnah dan kitabnya terbakar atau tenggelam di tengah-tengah suasana yang kacau waktu penaklukan Mongol di Timur dan penyerangan Spayol di Barat. Atau pemusnahan kitab-kitab dan perpustakaan sebagai akibat terjadinya pertentangan sengit antara Firqah-firqah agama. Atau karena menjadi rusaknya dan mengaburnya tinta akibat lapuk dimakan usia.

d. Banyaknya Sekolah dan Mausu’at.
Pada masa ini sekolah-sekolah yang teratur tumbuh subur, terutama Mesir dan Syam, dan yang menjadi pusatnya adalah Kairo dan Damaskus. Pembangun sekolah pertama adalah Sultan Nurudin Zanky yang kemudian di ikuti oleh para raja dan sultan sesudahnya. Berdirilah berbagai corak sekolah baik karena perbedaan madzhab atau pun karena ke khususan ilmu.
e. Penyelewengan ilmu.
Dalam zaman ini umat islam dan kaum terpelajar banyak yang melarikan diri ke dunia pembahasan agama, apalagi ketika persatuan politik tidak ada lagi dan sultan-sultannya tidak memperhatikan perkembangan dan kemurnian agama, umat islam makin tenggelam kepada pembahasan bidang agama saja, bahkan lama-kelamaan jatuh ke lembah mistik dan khurofat. Hal ini mungkin karena kebanyakan manusia telah di hinggapi rasa takut sehingga mereka mengungsi ke dunia agama dan mistik untuk menghibur diri. Dalam masa ini berbagai ilmu mereka pergunakan untuk mengkhidmati agama saja atau mistik dan khurofat. Misalnya ilmu Falak hanya untuk menetapkan waktu sholat, sementara ilmu Bintang untuk meramal.

3. Kondisi keagamaan
Penguasa Mongol atas daulah Islam hampir memusnahkan unsur Arab dan bahasanya, juga agama Islam. Dengan tindakan pemusnahan, pembakaran dan pembunuhan selama peperangan maka ratalah kota dan daerah yang dikuasai. Mereka bunuh penduduknya, mereka rampas hartanya, mereka runtuhkan gedung-gedungnya mereka bakar Kutubul Khanahnya, maka musnahlah perbendaharaan kebudayaannya. Namun suatu hal yang luar biasa bahwa Jenghis Khan yang meruntuhkan semua itu, diantara keturunannya ada yang bangun menjadi pemelihara dan pembangun kembali agama dan kebudayaan Islam.
Timur lenk, salah satu keturunan Jenghis Khan misalnya, pada akhir hayatnya memeluk Islam, berkat usaha sultan Faraj, seorang dari raja Mamluk yang mengutus delegasi dengan pimpinan Ibn Khaldun Bapak Sosiologi Islam yang termashur saat itu. Sementara itu kekejaman Timur Lenk mereda dan ia mengamalkan agama Islam secara tekun serta membelanya dengan semangat sampai wafatnya tahun 1404 M. tidak berbeda keadaannya dengan keturunan Jenghis Khan yang lain Islam menyusupi diri mereka.




4. Umat Islam masih melahirkan ilmuwan besar
Ketika umat Islam dalam kondisi carut marut karena serangan Mongol yang semakin merajalela, umat Islam masih mampu berpikir, menciptakan sesuatu yang besar dan melahirkan ilmuwan yang mendunia walaupun jumlahnya sedikit, diantaranya:
a. Ibn Taimiyah
Lima tahun setelah Baghdad runtuh 1258 M oleh Hulago dan penyerbuan Mongol sedang giat-giatnya, lahirlah Ibn Taimiyah tahun 661 H/1263 M. Ia adalah perintis dan pejuang bidang agama. Ketika masih bayi bapaknya membawanya pindah ke Damaskus. Disanalah ia belajar dan menyelesaikan pelajarannya.
Semenjak muda dia menyaksikan kerusakan kaum Muslimin dan hancurnya ajaran Islam di segala bidang. Ia mengkritik dan menghantam berbagai penyimpangan pemahaman dan praktek dalam berbagai bidang seperti bidang filsafat, ilmu kalam, partai/sekte-sekte, masalah-masalah furu dalam fiqih, bahkan ia menantang dan menolak serangan Kristen. Sehingga dia mendapat banyak perlawanan yang ditujukan kepadanya baik secara lisan maupun tulisan.
Sebagai akibat pekerjaannya yang menentang semua pendapat yang sudah mapan menyebabkan ia keluar masuk penjara. Walaupun demikian hal itu tidak menyurutkan semangatnya, bahkan ketika di dalam penjara ia pergunakan waktunya untuk mengarang buku-bukunya sampai penguasa setempat mengetahui.
b. Nasir Ad-Din Tusi
Nasir Ad-Din Tusi mendirikan sebuah observatorium di Maragha sebuah tempat yang terletak di Asia kecil. Dari observatorium ini ia dapat memperbarui ilmu bintang. Dibuatnya jadwal perjalanan bintang baru yang dinamai Elkhaniah. Nasir Ad-Din Tusi sama saja masyhur dan tinggi ilmunya dalam ilmu bintang dan ilmu ukur (geometri). Kebanyakan karangannya berdasarkan ilmu matematika, semuanya ada 16 buah.
c. Ulugh Bek
Pada tahun 1437 umat Islam masih juga melahirkan seorang yang menciptakan jadwal astronomi baru, jadwal itu disebut Ulugh Bek seperti nama yang membuatnya. Ulugh Bek adalah cucu Timur Lenk dari keturunan Hulago di Samarkand yang memerintah 1447-1452.
d. Zijj Muhammad Shohi
Tahun 1720 Zijj di istana raja Mughal di India menciptakan pula table-tabel baru yang mengoreksi tabel-tabel Eropa sebesar 6 menit busur.
Dengan demikian sampai pada abad XVII M umat Islam masih menciptakan penemuan baru namun sangat langka, akhirnya makin tidak bergairah hidup kemudian mati.

5. Kemajuan Bangsa Mongol
Pada masa pemerintahan Bahadur Khan, Mongol mengalami kemajuan yang sangat besar karena pada masa itu, Bahadur berhasil menyatukan 13 kelompok suku bangsa. Kemudian pada masa pemerintahan Hulagu Khan banyak wilayah yang telah ditaklukannya. Diantaranya adalah kota Baghdad yang pada waktu dipimpin oleh Khalifah al-Mu’tashim. Khalifah al-Mu’tashim tidak mampu membendung topan tentara Hulagu Khan. Selanjutnya Hulagu melanjutkan gerakannya ke Syria dan Mesir. Dari Baghdad pasukan Mongol menyeberangi sungai Khuprat menuju Syria, kemudian melintasi Sinai. Mesir pada tahun 1260 M. Mereka berhasil menduduki Hablur dan Gaza.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Ghazan, yakni raja yang ketujuh Dinasti Ilkhan, ia mulai memperhatikan perkembangan peradaban. Ia seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastra. Oleh karena itu ia mebangun semacam biara untuk para Darwis, perguruan tinggi untuk mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah perpustakaan, observatorium dan gedung-gedung umum lainnya.

5. Sebab-sebab Kemunduran Bangsa Mongol
Kekalahan pasukan Mongol di bawah panglima Kitbugha atas pasukan Mamluk di bawah panglima Qutuz. Panglima tentara Mongol, Kitbugha, mengirim utusan ke Mesir meminta supaya Sultan Qutuz yang menjadi raja kerajaan Mamluk untuk menyerah. Permintaan itu ditolak oleh Qutus dan utusan Kitbugha tersebut dibunuhnya. Tindakan Qutuz itu itu menimbulkan kemarahan dikalangan tentara Mongol. Kitbugha kemudian melintas Jordania meunuju Galilei. Pasukan ini bertemu dengan pasukan Mamluk yang dipimpin langsung oleh Qutuz. Pertempuran dahsyat terjadi sehingga pasukan Mamluk berhasil menghancurkan tentara Mongol pada tanggal 3 September 1260 M. Hal inilah yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Mongol di Cina.
Pada saat Mongol diperintah oleh Abu Sa’id (1317-1335 M), terjadi bencana kelaparan yang sangat menyedihkan dan angin topan dengan hujan es yang mendatangkan melapetaka. Kerajaan Ilkhan yang didirikan Hulagu Khan akhirnya terpecah belah sepeninggal Abu Sa’id dan masing-masing pecahan saling memerangi. Akhirnya mereka semua ditaklukkan oleh Timur Lenk.

B. DAULAH MAMLUK DI MESIR (1250-1517 M)
Kalau ada negeri Islam yang selamat dari kehancuran akibat serangan-serangan bangsa Mongol baik serangan Hulagu Khan maupun Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir, yang ketika itu di bawah kekuasan Mamluk. Karena negeri terhindar dari kehancuran, maka persambungan dan perkembangan peradaban di masa klasik relatif terlihat dan beberapa di antara prestasi yang pernah dicapai pada masa klasik bertahan di Mesir.
Mamluk artinya budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyyah sebagai budak. Kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Oleh penguasa Ayyubiyyah yang terakhir, al-Malik al- Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa ini mereka mendapat hak-hak istimewa baik dalam karier ketentaraan maupun imbalan-imbalan material.
Di awal tahun 1200 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh Dunia Islam. Kedua tentara bertemu di ‘Ayn Jalut, dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamluk di bawah kekuasaan Mamluk di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Dinasti Mamluk membawa wacana baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan Dinasti ini bersifat oligarkhi militer. Sistem pemerintahan oligarkhi ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir dan kemajuan- kemajuan itu dicapai dalam berbagai bidang seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian dan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamluk atas Mongol di ‘Ain Jalut menimbulkan harapan baru bagi daerah sekitar sehingga mereka meminta perlindungan, menyatakan kesetiaan kepada dinasti ini sehingga wilayah dinasti ini bertambah luas.
Dalam bidang ekonomi, Dinasti Mamluk membuka hubungan dagang dengan Prancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia-Eropa menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Sedangkan hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antar kota, baik laut atau darat.
Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Ilmuwan-Ilmuwan besar yang lahir pada zaman Mamluk diantaranya:
- Ibn Nafis dalam bidang kedokteran. Di antara karya-karyanya yang besar adalah:
1. Kitab As-Syamil fi at-Thib
2. Kitab Al-Muhadzdzab fi al-Kuhl
3. Mujiz al-Qanun
4. Komentar terhadap buku Masail fi at-Thib karya Hunain ibn Ishak
5. Komentarnya yang lebih luas terhadap Qanunnya Ibn Sina.
- Abu Fida dalam bidang geografi dan sejarah. Di antara karya-karyanya adalah:
1. Mukhtasir Tarikh al-Basar
2. Tarikh al- Buldan
- Ibn Khaldun dalam bidang sosiologi. Dengan karyanya Muqaddimah.
- Ibn Al-Khatib dan Ibn Khatima dalam bidang kedokteran.
Dinasti Mamluk banyak mengalami kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah dan masjid yang indah. Bangunan lain yang didirikan pada masa ini di antaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan dan lain-lain. Kemajuan itu dicapai berkat kepribadian dan wibawa Sultan yang Tinggi, ditunjang dengan adanya solidaritas sesama militer yang kuat serta stabilitas negara yang aman dari gangguan.

C. KERAJAAN TURKI UTSMANI
1. Asal Mula Turki Usmani
Kerajaan Turki Usmani didirikan oleh suku bangsa pengembara yang berasal dari wilayah Asia Tengah, yang termasuk suku Kayi. Ketika bangsa Mongol menyerang dunia Islam, pemimpin suku Kayi Sulaiman Syah, mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol tersebut dan lari ke arah Barat. Mereka akhirnya terbagi menjadi dua kelompok yang pertama ingin pulang ke negeri asalnya, yang kedua meneruskan perantauannya ke wilayah Asia Kecil.
Kelompok kedua itu berjumlah sekitar 400 keluarga dipimpin oleh Erthegrol (Arthoghol) anak Sulaiman. Akhirnya mereka menghambakan dirinya kepada Sultan Ala Ad-Din II dari Turki Saljuq Rum yang pemerintahannya berpusat di Konya, Anatholi, Asia Kecil. Ertheghol mempunyai seorang anak yang bernama Usman, kira-kira lahir tahun 1258. Nama Usmanlah ditunjuk sebagai nama kerajaan Turki Usmani.
Namun dikawasan Timur, kekuatan Turki memperoleh tantangan dari dinasti Shafawiyyah, yakni dinasti lain yang muncul dari asal-usul yang tidak jelas, yang juga cikal bakal terbentuknya kabilah Turki. Terjadi perjuangan panjang guna mengendalikan wilayah-wilayah perbatasan yang terletak diantara pusat kekuasaan, yakni Anatolia timur dan Irak. Bagdad ditaklukkan oleh dinasti Utsmaniyyah pada tahun 1534 M, direbut oleh Shafawiyyah pada tahun 1623 M, dan tidak dikuasai lagi oleh dinasti Utsmaniyyah hingga tahun 1638 M. Sebagian disebabkan perjuangan melawan dinasti Shafawiyyah. Dinasti Utsmaniyyah berpindah ke selatan memasuki tanah-tanah kesultanan mamluk.

2. Bentuk Pemerintahan Turki Usmani
Gelar bagi penguasa Usmani adalah Padi Syah atau Sultan, gelar tersebut menandangi kaitannya dengan tradisi kerajaan Persia, tapi ia juga ahli waris tradisi Islam, mereka mengklaim bahwa dirinya adalah pelaksana otoritas yang absah dalam term-term Islam. Dinasti Usmaniyyah terkadang menggunakan gelar khalifah, akan tetapi gelar tersebut tidak membawa klaim apapun bagi otoritas universal atau eksklusif seperti pada pendahulu mereka, adakalanya gelar seorang sultan itu lebih dari sekedar lokal dan dengan menggunakan kekuasaannya untuk tujuan yang diridhoi agama.
Dinasti Usmaniyyah mempertahankan perbatasan Islam dan mengadakan ekspansi, mereka berseteru dengan dinasti Shafawiyyah untuk memperebutkan Anatholia dan Irak. Dinasti Shafawiyyah memproklamirkan Syiah sebagai agama resmi dinasti, sedangkan dinasti Usmaniyyah menganut ajaran Sunni seiring dengan perluasan imperium yang meliputi pula pusat-pusat budaya tinggi Islam perkotaan.
Sultan bukan hanya sebagai pembela perbatasan-perbatasan Islam, melainkan juga sebagai pengawal kota-kota suci, Makkah, Madinah, Yerusalem, Zebron. Seorang sultan itu memiliki gelar sebagai pelayan kota suci, ia juga memegang pemerintahan pada zaman Turki Usmani, yaitu Pat Syiah yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin otoritas yang sah dalam term-term yang absah dalam Islam. Sistem pemerintahannya dipegang oleh pemerintah yang bertolak belakang dengan pendahulunya.


3. Birokrasi Usmaniyah Tradisional
Birokrat-birokrat dinasti Usmaniyyah yang dilatih dalam sistem istana dan bukan di madrasah atau di sekolah agama memiliki suatu pandangan lain terhadap hubungan timbal balik antara politik dan agama. Pandangan mereka dilukiskan sebagai mengutamakan rasion d’etat. Birokrat Usmaniyyah melihat pemeliharaan kesatuan negara dan kemajuan Islam sebagai tugasnya. Ini diungkapkan dalam rumusan Din U devlet (din wa daulat) atau agama dan negara. Tetapi aspek paling efektif dari kontrol pemerintahan Usmaniyyah terhadap lembaga Ulama, yaitu hirarki orang-orang berilmu atau memiliki pengetahuan keagamaan.
Setelah ada birokrasi Usmaniyyah terjadi perubahan baik di dalam negeri kebanyakan diantara mereka telah menjalani suatu reaksi keagamaan dan politis yang garis besarnya sejajar sama-sama menuju masa depan yang belum pasti, tetapi ini berlaku di Mesir dan Nahas Via Faruq ke Najib, di Suriah, di Iran. Bahwa kita melihat kemerosotan dan keruntuhan pemerintahan parlementer dan pertumbuhan diktator. Tetapi toh hal tersebut terjadi dimana-mana. Turki telah menjadi dewan Eropa dan sesudah itu anggota Pakta Atlantik yang menjadikan semangat Turki lebih besar dari negara-negara lain.
Adapun kebijakan luar negeri Turki telah berjalan sejajar dengan negara-negara lain, karena perkembangan di dalam negeri yang serupa. Suatu gerak Westernisasi yang sukses dan kontinyu, suatu pertumbuhan dan perbaikan pemerintahan berparlemen.
Pada puncak sistem kendali imperium yang luas ini bertahta seorang penguasa keluarga kerajaan “keluarga Usman”. Otoritas kekuasaan terletak pada keluarga dan bukan pada anggota yang ditunjuk, tidak ada hukum baku yang mengatur pergantian kekuasaan, yang ada hanyalah tradisi suksesi damai dan pemerintahan yang panjang hingga awal abad ke-17 M. Penguasa selalu digantikan oleh salah seorang putranya, akan tetapi setelah itu yang lazim berlaku adalah manakah keluarga tertua, sang penguasa hidup di tengah-tengah keluarga besar di dalamnya termasuk para Harem berikut pengawalnya, pelayan pribadi, tukang kebun, dan penjaga istana.
Kedudukan dibawah penguasa ditempati oleh Sadr-i azam (pejabat tinggi) atau dalam bahas Inggris lazim Grand Vizier (Menteri Besar). Setelah periode pertama dinasti Usmaniyyah, Sadr-i azam tadi dianggap memiliki kekuasaan mutlak yang berada langsung dibawah sang penguasa, ia dibantu oleh sejumlah wazir lain yang mengendalikan militer dan pemerintah provinsi serta pelayanan sipil. Sebagian besar militer Usman merupakan kekuatan kafaleri yang direkrut dari orang-orang Turki dan penduduk lain dari Anatholia dan pedesaan Balkan, kafaleri dibantu oleh sejumlah prajurit dan diberi hak pengumpulan dan penyimpan pajak atas lahan pertanian sebagai imbalan atas pelayanan yang mereka berikan. Sistem ini dikenal dengan sistem Timar.
Pada abad ke-16 M, mulai berkembang birokrasi yang rumit (kalemiye), yakni birokrasi yang terdiri dari dua kelompok besar, yaitu :
Sekretaris yang mempersiapkan secara seksama dokumen-dokumen pemerintah, peraturan dan tanggapan terhadap petisi.
Para petugas yang menjaga keuangan, penilaian terhadap aset yang terkena pajak serta catatan mengenai berapa besar jumlah pajak yang terkumpul.
Pada paruh pertama abad ke-17 M, terdapat periode ketika kekuasaan pemerintah melemah, ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi, salah satunya adalah inflasi, dan hal ini diikuti oleh kebangkitan kembali kekuatan pemerintahan tetapi dalam format yang berbeda, yakni menteri besar menjadi lebih kuat, jalur promosi menjadi lebih banyak lewat keluarga istana menteri besar dan para pejabat tinggi lainnya daripada lewat keluarga istana penguasa. Imperium cenderung berubah menjadi Oligarkhi. Para pejabat yang kuat dan mereka ini terikat oleh sentimen Asykhabiyah, karena tumbuh dalam rumah tangga yang sama, pendidikan yang sama dan tidak jarang oleh kekerabatan dan perkawinan. Jadi, setelah pada paruh pertama abad ke-17 M, organisasi dan pola aktivitas pemerintahan sudah mencerminkan ideal kerajaan Persia (menurut Nizham al-Muluk -penulis tema sejenis-), maksudnya para penguasa harus menjaga jarak dengan lapisan masyarakat yang berbeda agar dapat mengatur aktifitas masyarakat dan memelihara harmonis segenap lapisan.

4. Revolusi Turki
Turki Muda yang juga merupakan lawan-lawan sejati Sultan, menyadari bahwa mereka tidak dapat menyingkirkan Islam selama warga muslim dinasti etnis yang terdiri dari Multi Etnis tetap bertahan. Karena upayanya dinasti itulah yang menyebabkan Ataturk mampu melaksanakan pembaharuan-pembaharuannya sendiri. Tetapi menurut dia mengutamakan devlet atau negara yaitu negara modern.
Adapun tindakan-tindakan Ataturk sering disebut-sebut adalah penghapusan kekhalifahan, pemakaian undang-undang sipil Swiss, penggunaan abjad latin, pembatalan Islam sebagai agama negara dan pemalsuan prinsip sekulerisme dalam konstitusi Turki. Tetapi kecuali personalia Masjid dan direktorat jenderal urusan keagamaan yang masih dipersiapkan.
Dengan lenyapnya ilmu dan membangkitkan tarekat dihapuskan, Partai Rakyat Republik (The Republican People’s Party / RPP) menghancurkan dua kekuatan keagamaan Turki. Kemudian suatu sistem Multi partai mendapat lampu hijau sejak tahun 1946, dan RPP sadar bahwa dalam pemilihan umum mendatang ia harus bersaing dengan Partai Demokrat (The Democrat Party / DP).
Di dalam pemilu yang bebas dan jujur di bulan Mei 1950. Sesudah kemenangan Partai Demokrat terdapat suatu periode penuh bahaya, yaitu ketika pertengkaran dan intoleransi yang bertambah-tambah besar kedua partai tersebut mengancam berfungsinya organisasi-organisasi yang menghasut, yang menyebarkan ide-ide rasional dan klerikal merupakan ancaman pula bagi eksistensi Republik Turki sendiri.
Tetapi setelah kampanye pemilihan umum tahun 1957, Partai Demokrat dan sekte Nur mempererat suatu persekutuan yang sejak waktu itu menjadi sangat sementara sifatnya.
Kemudian Partai Demokrat diganti menjadi Partai Keadilan mengembalikan sikap santai terhadap Islamnya yang telah muncul pada akhir Perang Dunia II. Sehingga persatuan antara partai Demokrat dan kepentingan-kepentingan keagamaan telah menjadi suatu persekutuan kelompok Sunni. Kecenderungan ini bersamaan dengan toleransi yang diperbaharui pada tahun 1960-an, terbentuknya partai politik Awaliyah 1966 yaitu Partai Persatuan. Dan partai ini tidak berhasil dalam pemungutan suara. Tetapi daya upaya untuk pembentukannya dialihkan untuk mendukung kelompok-kelompok minoritas lain, diantaranya kelompok sayap kiri Turki. Sebaliknya golongan Marxis Turki berusaha tanpa kenal malu untuk memanfaatkan beberapa tema Awaliyah sebagai tema pemberontakan dan revolusi.
Menurut De Toc Queville pada revolusi Perancis ketika gelombang pasang revolusi telah surut kembali dan banjir mereda, maka tonggak-tonggak serupa dan tradisional muncul kembali dan arus sejarah kembali menelusuri arus semula.

5. Kehancuran Imperium Usmani dan Modernisasi Turki
Kehancuran imperium Usmani merupakan transisi yang lebih komplek dari masyarakat Islam imperial abad 18. Menjadi negara-negara nasional modern, rezim Usmani menguasai wilayah yang sangat luas, meliputi Balkan, Turki, Timur Tengah, Mesir dan Afrika Utara, dan pada abad ke-19, secara substansial Usmani memperbaiki kekuasaan pemerintah pusat, mengkonsolidasikan kekuasaannya atas beberapa propinsi dan melancarkan reformasi ekonomi, sosial, dan kultural yang dengan kebijakan tersebut mereka berharap dapat menjadikan rezim Usmani mampu bertahan di dunia modern.
Meskipun Usmani telah berjuang mempertahankan reformasi negara dan masyarakat, namun perlahan-lahan imperium Usmani kehilangan wilayah kekuasaannya. Beberapa kekuatan Eropa yang terlebih dahulu mengkonsolidasikan militer, ekonomi dan kemajuan teknologi mereka sehingga pada abad ke-19 bangsa Eropa jauh lebih kuat dibandingkan rezim Usmani.
Untuk dapat bertahan, rezim Usmani bergantung pada keseimbangan kekuatan-kekuatan Eropa. Hingga tahun 1878 kekuatan Inggris dan Rusia berimbang dan hal ini menyelamatkan rezim Usmani dari mereka, namun pada tahun 1878 sampai 1914, sebagian besar wilayah Balkan menjadi merdeka dan Rusia, Inggris, dan Austria Hungaria semua merebut sejumlah wilayah Usmani hingga ia menjadi imperium yang tidak beranggota, memuncak pada akhir Perang Dunia I lantaran terbentuknya sejumlah negara baru di Turki dan di Timur Tengah Arab.

D. KERAJAAN SAFAWI
1. Awal Mula Berdirinya Kerajaan Safawi
Perkembangan peradaban Islam baru bekembang di Persia sejak dinasti Abbasyiah di Baghdad mengalami kemunduran. Namun demikian, perkembangan peradaban Islam kala itu masih sebatas permulaan. Tetapi, perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi yang dipelopori oleh Safi al-Din yang hidup sejak tahun 1252 hingga 1334 M. Kerajaan ini berdiri di saat kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya.
Kerajaan Safawi itu sendiri berasal dari sebuah gerakan tarekat bernama Safawiyah yang diambil dari nama pendirinya yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat Safawiyah ini didirikan bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki. Hingga di masa perkembangannya, nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.
Sebagai pendiri kerajaan, Safi al-Din dikenal sebagai pribadi yang agamis. Ia merupakan keturunan Musa al-Kazhim yang terkenal sebagai imam Syi’ah yang keenam. Setelah ia berguru dengan Syaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi yang dikenal dengan Zahid al-Gilani dan menjadi menantunya, ia mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 M. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan Ahl al-Bid’ah Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-muridnya di daerahnya masing-masing
Jumlah pengikut tarekat Safawi semakin besar. Karena tidak mencampuri politik, gerakannya dapat berjalan dengan aman baik pada masa kekuasaan Ilkhan maupun pada masa penjarahan Timur Lenk.
Dalam dekade 1447 – 1501 M Safawi memasuki tahap gerakan politik, sama halnya dengan gerakan sanusiyah di Afrika Utara. Mahdiyah di Sudan dan Maturidiyah serta Naksyabandiyah di Rusia. Sebagai gerakan politik dimulai di bawah pimpinan Junaid ibnu Ali. Akibatnya, Safawi mulai terlibat konflik-konflik dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada di Persia waktu itu, misalnya konflik politik dengan kerajaan-kerajaan Kara Koyonlo (domba hitam) yang bermazhab syi'ah dan dengan kerajaan ak-Koyonlo (domba putih) yang bermazhab Sunni di bawah kekuasaan Imperium Usmani. Karena konflik tersebut maka ia mengalami kekalahan dan diasingkan. Dalam pengasingan ia menghimpun kekuatan baru dan meminta perlindungan kepada ak-Koyonlo.
Kepemimpinan Junaid kemudian dilanjutkan oleh Haidar. Kemenangan ak-Koyunlu terhadap Kara koyunlu membuat Haidar dianggap sebagai rival politik oleh ak-Koyunlu yang dianggap dapat menghalanginya dalam meraih kekuasaan yang selanjutnya. Hal ini diwujudkan dengan cara mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan yang diserang oleh pasukan Safawi sehingga Haidar terbunuh dalam peperangan itu.
Ali bin Haidar yang memimpin Safawi berusaha membalas dendam terhadap kematian ayahnya, tetapi kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Fars. Mereka dibebaskan dengan syarat mau bekerja sama dengan Rustam, putra mahkota ak-Koyunlu untuk memerangi saudara sepupunya. Tetapi setelah syarat itu terpenuhi, Rustam kembali menyerang Ali dan Ali terbunuh dalam peperangan itu.
Kepemimpinan Safawi beralih ketangan Ismail yang mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hibungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, Anatolia. Pasukan ini bernama Qizilbash (baret merah). Pada pasukan Qizilbash ini topinya dilengkapi dengan 12 rumbai yang memiliki makna Syi'ah Isna 'Asyariyah (Dua Belas Imam) mempunyai pengaruh yang besar dalam menanamkan sifat fanatisme dan militansi para pengikut Syi'ah dengan pemimpinnya. Ismail memanfaatkan kedududkannya sebagai mursyid untuk mengkonsolidasikan kekuatan politiknya dengan menjalin hubungan dengan para pengikutnya.
Dalam waktu kurang lebih lima tahun, ia berhasil menghimpun kekuatan yang cukup besar. Setelah berhasil menaklukan Syirwan, ia bergerak menuju Ak-Koyonlo. Dalam suatu peperangan yang sengit di Sharur dekat Nackhchiwan tahun 1501 ia berhasil memenangkan peperangan dengan gemilang, sehingga pada tahun itu juga ia memasuki kota Tebrez seraya memproklamasikan berdirinya kerajaan Safawi dengan ia sendiri sebagai Syaikhnya yang pertama dan menetapkan Syi'ah Dua Belas sebagai agama resmi kerajaan Safawi. Dengan diproklamasikannya kerajaan Safawi sebagai kerajaan dan ditetapkan pula Syi'ah sebagai agama kerajaan maka merdekalah Persia dari pengaruh dari kerajaan Usmani dan kekuatan asing lainnya.
Peristiwa inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya kerajaan safawi yang akan turut memberikan kontribusi dalam perkembangan kekuasaan Islam.

2. Masa kejayaan dan perkembangan Kerajaan Syafawi
Pada masa pemerintahan Ismail, safawi berhasil mengembangkan wilayah kekuasaannya sampai ke daerah Nazandaran, Gurgan, Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan, dan Khurasan hingga meliputi kedaerah bulan sabit subur (fortile crescent). Kemudian ia berusaha mengembangkan wilayahnya sampai ke Turki Usmani tetapi menghadapi kekuatan besar dari kerajaan Turki Usmani yang sangat membenci golongan Syi’ah. Dalam perebutan wilayah ini Safawi mengalami kekalahan yang menyebabkan Ismail mengalami depresi yang meruntuhkan kebanggaan dan rasa percaya dirinya sehingga ia menempuh kehidupan dengan cara menyepi dan hidup hura-hura. Hal ini berpengaruh pada stabilitas politik dalam kerajaan Safawi. Contohnya adalah terjadinya perebutan kekuasaan antara pimpinan suku-suku Turki, Pejabat-pejabat keturunan Persia, dan Qizilbash.
Keadaan ini baru dapat diatasi pada masa pemerintahan raja Abbas I. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I untuk memperbaiki situasi adalah :
1. Menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang beranggotakan budak-budak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan sircassia.
2. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam ( Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khotbah Jumatnya.Usaha-usaha tersebut terbukti membawa hasil yang baik dan membuat kerajaan Safawi kembali kuat. Kemudian Abbas I meluaskan wilayahnya dengan merebut kembali daerah yang telah lepas dari Safawi maupun mencari daerah baru. Abbas I berhasil menguasai Herat (1598 M), Marw dan balkh. Kemudian abbas I mulai kembali menyerang kerajaan Turki Usmani dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, Ganja, Baghdad, Nakhchivan, Erivan, dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M Abbas I berhasil menguasai kep.Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.
Pada Masa Abbas I inilah kerajaan Safawi mengalami masa kejayaan yang gemilang. Diantara bentuk kejayaannya adalah :
1. Secara politik ia mampu mengatasi kemelut didalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya.
2. Dalam bidang ekonomi terjadi perkembangan ekonomi yang pesat setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Hal ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antaraTimur dan Barat. Selain itu Safawi juga mengalami kemajuan sector pertanian terutama didaerah Bulan sabit subur (fortile crescent).
3. Dalam bidang ilmu pengetahuan. Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa dam mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan yang hadir di majlis istana antara lain, Baha al-Din (generalis iptek), Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad (teolog,filosof,observatory kehidupan laba-laba). Dalam bidang ilmu pengetahuan, Safawi lebih mengalami kemajuan dari pada kerajaan Mughal dan Turki Usmani.
4. Dalam bidang Pembangunan Fisik dan Seni. Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota yang sangat indah. Disana terdapat bangunan-bangunan besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan rakasasa di atas Zende Rudd dan istana Chilil Sutun. Dalam hal seni, terdapat dalam kemajuan pada arsitektur bangunan yang terlihat pada mesjid Shah yang dibangun pada 1611 M dan mesjid Lutf Allah yang dibangun pada 1603 M. Terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dll.seni lukis mulai dirintis pada masa raja Tahmasp I. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh kerajaan ini menjadi salah satu dari ketiga kerajaan besar Islam di masa klasik, kerajaan ini telah memberikan konstribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni, dan gedung-gedung bersejarah. Walaupun kurang berkembang di bidang sains, teknologi, hukum dan filsafat.

3. Masa Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Syafawi
Sepeninggal Abbas I, Safawi diperintah oleh raja-raja yang lemah dan memiliki perangai dan sifat yang buruk. Hal ini menyebabkan rakyat kurang respon dan timbul sikap masa bodoh terhadap pemerintahan. Raja-raja yang memerintah setelah Abbas I adalah :
a. Safi Mirza. Ia adalah raja yang kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Pada pemerintahannya kota Qandahar jatuh ketangan kerajaan Mughal dan Baghdad direbut Turki Usmani.
b. Abbas II. Ia adalah raja yang suka mabuk, minum-minuman keras sehingga jatuh sakit dan meninggal. Sepeninggalnya kota Qandahar dapat direbut kembali oleh wazir-wazirnya.
c. Sulaiman. Ia juga seorang pemabuk dan sering bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya.
d. Shah Husein. Ia adalah pemimpin yang alim. Ia memberi kesempatan kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan kehendak terhadap penganut aliran sunni. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan bangsa afghan yang dipimpin oleh Mir Vays yang kemudian digantikan oleh Mir Mahmud. Pada masa pemberontakan Mir Mahmud ini, kota qandahar lepas dari Safawi, kemudian disusul kota Isfahan. Pada 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah.
e. Tahmasp II. Dengan dukungan dari suku Qazar Rusia, ia memproklamirkan diri sebagai raja yang berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di Astarabad. Kemudian ia bekerja sama dengan nadhir Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang menduduki kota Isfahan. Isfahan berhasil direbut dan Safawi kembali berdiri. Kemudian Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan pada 1732 M.f.Abbas III. Ia adalah pengganti Tahmasp II yang diangkat pada saat masih kecil.
Pada 1736 M, abbas III dilengserkan kemudian Kerajaan safawi diambil alih oleh Nadir Khan. Dengan begitu, maka berakhirlah kerajaan Safawi. Safawi. Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami kehancuran.

4. Faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Safawi
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Syafawi adalah sebagai berikut:
1. Konflik panjang dengan kerajaan Turki Usmani. Hal ini disebabkan oleh perbedaan mazhab antara kedua kerajaan.
2. Adanya dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin Safawi.
3. Pasukam Ghulam yang dibentuk abbas I tidak memiliki semangat perang seperti Qilzibash yang dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlati dan tidak melalui proses pendidikan rohani.
4. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.









DAFTAR PUSTAKA

1. Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Mizan, Bandung, 2004.
2. Azra, Azyumardi, Prof, Dr, MA, 2001, Ensiklopedi Islam, jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoe.
3. Dr. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Logos, Jakarta, 1997.
4. Gustave E. Von G., Islam Kesatuan dalam Beragama, Yayasan Obor Indonesia dan LSI, Jakarta.
5. Harun Nasution, Perkembangan Modern dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985.
6. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
7. Musyrifah Sunanto, Prof., Dr., Hj., Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Kencana, 2007.
8. Rasyidi, HM, Prof, Dr, 1993, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Departemen Agama.
9. Dr. Badri Yatim M.A. SEJARAH PERADABAN ISLAM Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2007.
10. Ajid Thohir. PERKEMBANGAN PERADABAN DI KAWAAN DUNIA ISLAM Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2004.
11. Moh. Nurhakim. Sejarah dan Peradabab Islam. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. 2004.
12. Dudung Abdurahman, Siti Maryam (ed). SEJARAH PERADABAN ISLAM: dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Penerbit Fak. Adab. 2002


Tidak ada komentar:

Posting Komentar